Kehidupan
ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalam kehidupan
menunjukkan bahwa dunia dari kehidupan di dalamnya masih pada kondisi normal.
Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beranekaragam
tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan
baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik
jika bisa di hargai oleh setiap kelompok yang ada.
Keberagama
atau pluralitas dalam kehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena
yang menarik untuk di teropong lebih dekat lagi. Terdapat sejumlah persoalan
yang perlu dicermati manakala agama bersinggunggan dengan pluralitas sosial,
dari mulai politik, adat dan ekonomi. Krisis jati diri bangsa yang paling
mencekam muncul dalam sikap antipluralisme dikalangan sekelompok anak bangsa.
Sebagian
besar masyarakat terutama kelompok-kelompok dominan, masih memahami
prinsip-prinsip pluralisme dan multikulturalisme (M Dawan R, 2010). Mereka
bahkan curiga dan merasa menghadapi ancaman. Padahal justru kecurigaan dan
kekhawatiran inilah yang menimbulkan konflik dan aksi-aksi kekerasan yang cukup
marak di Indonesia akhir-akhir ini. Melihat beberapa kejadian belakngan yang timbul
di tanah air, maka perlu mengangkat kembali pemahaman terhadap pluralitas di
Indonesia sebagai satu wujud kesatuan dan merupakan asset bangsa yang berperan
besar dalam proses pembangunan dan pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa.
Untuk itulah dalam kesempatan
ini akan di jabarkan apa itu sebenarnya pluralitas, yang memiliki artian
adalah paham yang berkaitan dengan mentoleransi segala adanya keanekaragaman
yang meliputi peradaban, agama, pikiran, perbedaan agama serta adanya perbedaan
budaya. Tujuan pluraliatas adalah untuk mengakuai adanya sebuah kebenaran yang
di yakini oleh masing masing pihak.
Pluralitas atau
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti banyak
(jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralisme adalah suatu paham atau
teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi.
Dalam perspektif
ilmu sosial, pluralism yang meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat
memiliki dua ‚wajah‛, konsesus dan konflik. Consensus mengandaikan bahwa
masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive
(bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu sebagai
aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang
sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena
adanya konflik. Teori ini tidak menafikkan adanya keharmonisan dalam
masyarakat. Keharmonisan terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama,
tetapi karena adanya pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah.
Pluralitas merupakan
realitas sosiologi yang mana dalam kenyataannya masyarakat memang plural.
Plural pada intinya menunjukkan lebih dari satu dan isme adalah sesuatu yang
berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian pluralisme adalah paham
atau sikap terhadap keadaan majemuk atau banyak dalam segala hal diantaranya
sosial, budaya, politik dan agama.
Pluralisme agama
bisa dipahami dalam tiga sudut pandang. Pertama, sosial yaitu‛ semua agama
berhak untuk ada dan hidup‛ artinya semua umat beragama sama-sama belajar untuk
toleran, dan menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut agama.
Kedua, etika atau moral yaitu ‚ semua umat beragama memandang bahwa moral atau
etika dari masing-masing agama bersifat relative dan sah‛ apabila umat beragama
menganut pluralisme agama dalam nuansa atis, maka didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain. Ketiga teologi filisofis yaitu ‚ agama-agama
pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama menyelamatkan‛ artinya semua
agama menuju pada ketuhanan yang maha esa. Dengan demikian, yang dimaksud
‚pluralism agama‛ adalah suatu pemahaman bahwa semua agama mempunyai eksistensi
hidup saling berdampingan, saling bekerjasama dan saling berinteraksi antara
satu agama dengan agama yang lain. Atau disebut juga suatu sikap mengakui,
menghargai, menghormati, memelihara keadaan yang bersifat plurar baik itu suku,
etnis maupun agama.
Kemudian dalam ilmu
politik melahirkan ilmu tentang kedaulatan, pertama paham teokrasi yakni
kedaulatan ditangan Tuhan, kedua paham demokrasi yakni bahwa kedaulatan
ditangan masyarakat atau rakyat,ketiga paham teo-demokrasi teori ini
dikemukakan oleh Abdul A’la, teori ini ingin menggabungkan teori di atas.
Artinya meskipun pengelolaan di negara adalah ditangan rakyat, namun rakyat
tidak boleh lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Dan konsekuensi lebih lanjut dari
cara pandang adalah bahwa sumber legitimasi, referensi dan rujukan keagmaaan
yang memuat pesan-pesan moral kemanusiaan universal harus menjadi dasar prinsip
bagi seluruh cara pandang pikiran, konsep, interpretasi, tafsir , perjuangan,
kerja dan semua aktifitas manusia didunia.
Dalam masyarakat
plural yag ditengarai dengan kehadiran bersama perbedaan dan keragaman,
kebebasan beragama atau berkepercayaan dapat didefinisikan meliputi dua
kategori sebagai berikut:
1.
Kebebasan beragama : perbedaan dan keragaman agama-agama yang hidup bersama dan
berdampingan tercakup dalam definisi kebebasan beragama. Agama-agama tersebut
diperkenankan untuk dipeluk dan diyakini secara bebas oleh setiap individu yang
memilihnya menjadi pegangan hidup.
2.
Kebebasan
berkepercayaan : merupakan istilah yang merujuk kepada
pandangan hidup-pandangan hidup atau posisi non keagamaan atau sekuler yang
tercakup dalam kebebasan berkepercayaan.
Sebagai bangsa yang plural dan multi kultural, keberislaman seseorang
tidak cukup hanya melihat segala persoalan kehidupan dari perspektif individu
dan teologis. Kehidupan masyarakat yang beragam suku, agama maupun etnis akan
mengalami keharmonisan dan damai jika setiap individu menghargai entitas apapun
yang dimiliki orang lain. Proses penghargaan ini akan nyata tidak lain agar
keberagamaan yang diyakini tidak sampai pada terjadinya titik klimak klaim
kebenaran dari orang lain dan selanjutnya berujung pada usahanya sesalu menang
sendiri.
Dalam masyarakat yang beragam budaya, suku dan agama keharusan
mengedepankan kesamaan adalah sebuah keniscayaan dari pada selalu mencari
perbedaan. Modal ini cukup efektif sehingga nilai-nilai budaya dan agama
ditempatkan dalam posisinya sebagai motivasi bagi upaya membangun sebuah
pluralitas dan multikultural yang merupakan asset bangsa.
Prinsip-prinsip pluralisme dianggap dapat menjawab permasalahan dalam
melawan keterasingan jiwa masyarakat modern karena tekanan kapitalisme. Dengan
demikian, ide pluralisme berkembang seiring dengan perkembangan situasi dan
kondisi yang melingkupinya. Berangkat dari pemikiran tersebut, dapat dipahami
bahwa pluralism merupakan suatu pandangan yang meyakini akan banyak dan
beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas keberagaman manusia.
Sehingga pluralisme agama dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan bahwa
hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu, tetapi banyak atau beragam
Menurut Kang Jalal, ada tiga persepketif dalam memandang islam:
Fiqhi, Siyasi, dan Madani. Islam Fiqhi adalah memandang ajaran islam sebagi
kumpulan hukum, peraturan dan petunjuk praktis untuk kehidupan manusia
sehari-hari. Islam Siyasi memandang ajaran islam sebagai ideology untuk
menegakkan kekuasaan Tuhan dimuka bumi. Sedangkan islam Madani berusaha
menampilkan islam yang diterima oleh masyarakat kontemporer yang pluralistic.
Jika islam Fiqhi bersifat sektarian, islam Siyasi bersiat eksklusif, maka islam
madani bersifat inklusif dan pluralistik. Islam Madani hadir untuk menyabarkan
kasih kepada seluruh umat manusia, “Rahmatan lil alamin”. Tujuan nabi Muhammad
SAW di ututus di dunia ini menjadi rahmat bagi semua, sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an yang artinya:
“tidaklah
kami mengutus Engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Qs.
Al Anbiya [21]: 107)
Berdasarkan
ayat tersebut rasul di utus sebagai rahmat bagi segenap alam. Sedangkan dalam
hadits tujuan rasul di utus adalah untuk menyempurnakan akhlak. Kedua tujuan
tersebut memiliki kesamaan, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam, karena
ketika manusia menjadi subjek atau khilaah fil ardhi memiliki akhlak yang
mulia, maka tentunya akan membawa rahmat bagi dirinya, orang lain, dan alam
semesta. Rahmat adlah kelembutan hati sehingga cenderung untuk mengasihi orang
lain. Namun rahmat Allah adalah kebaikan, bukan kelembutan hati, karena Allah
terbebas dari sifat makhlukNya.
Dalam
al-Qur’an kata rahmat ini selain dihubungkan dengan rasul SAW, sebagaimana ayat
di atas orang-orang mukmin, agama, al-Qur’an, juga terutama dengan Allah
sendiri. Melekatnya sifat-sifat itu pada
disifati adalah menunjukkan mulianya sesuatu yang disifatinya, yaitu
Allah, Nabi, al-Qur’an, agama dan orang-orang mukmin. Rupanya pesannya bagi
kita adalah hendaklah kita semua memiliki dan mnebarkan rasa kasih sayang
tersebut, sebagaimana sifat dan tujuan rasulullah di utus. Dan rahmat adalah
esensi dari dua nama Allah yang masyhur yakni ar-Rahman-arRahim (Maha pengasih
dan Maha penyayang) yang harus diteladani oleh manusia. Karenanya tidak heran
bila tujuan rasulullah di utus itu adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam yang
sejalan dengan sifat Allah, alQur’an, agama sendiri dan orang-orang mukmin.
Lalu
apa bentuk dari kasih sayang yang sangat mendalam dari Allah melalui rasulNya
itu sejauh mana ruang lingkup kasih sayang itu? Dan apa yang dimaksud “seluruh
alam” dalam konteks ayat diatas? Menurut as-Sarbashy, bahwa yang dimaksud kasih
sayang itu adalah nabi menjadi sebab untuk mendapatkan rahmat, kebahagiaan, dan
petunjuk bagi setiap yang berakal dan yang mengharapkannya. Adapun ruang
lingkupnya adalah meliputi orang-orang kafir, mukmin, dan mkhluk Allah yang
lainnya. Rahmat bagi orang kafir adalah berupa penangguhan siksanya kela dihari
kiamat, tidak seperti umat-umat sebelum ini yang di azab langsung di dunia.
Sedangkan yang dimaksud dengan seluruh alam itu adalah meliputi alam dunia dan
akhirat. Rahmat di akhirat bagi orang mukmin adalah berupa pahala yang besar
karena telah mengikuti ajarannya.
Bentuk
kasih sayang Allah kepada manusia adalah anugerah berupa iman, wahyu, akal dan
alam semesta sebagai sarana penghidupan di dunia. Dengan akalnya manusia diberi
kebebasan dalam beragama. Dengan akal dan wahyu yang disampaikan oleh para
nabi, manusia menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam pelaksanaan amar ma’ruf
nahi munkar itu islam menentukan syarat dan aturan sehingga tidak terjebak pada
tindakan kekerasan. Syarat yang dimaksud adalah:
Pertama, amar ma’ruf nahyi munkar tidak boleh dilakukan secara semena-mena
oleh orang awam tanpa ilmu, karena selain hal itu bisa mengakibatkan kesalahan,
baik dalam teori maupun prakteknya juga akan menjadi kontraproduktif. Alih-alih
mau mendakwahkan islam sebagai agama yang suci dan agung malah mencemarkan atau
merendahkannya islam itu sendiri.
Kedua, amar ma’ruf nahyi munkar
harus dilakukan semata-mata karena Allah SWT dan untuk ketinggian agama Allah.
Ketiga, amar ma’ruf nahyi munkar dilakukan dengan penuh kasih sayang,
tidak kasar dan keras kepala.
Keempat, amar ma’ruf nahyi munkar hendaklah dilakukan dengan penuh
kesabaran.
Kelima, hendaklah diamalkan terlebih dahulu sebelum diperintahkannya
kepada orang lain, agar tidak menjdi bahan ejekan dan diperolok-olokkan.
Dalam
kaitannya denga islam sebagai agama yang toleran, begitu pula sejarah islam
telah memebuktikan model pendidikan yang multi cultural, sebagaimana yang
terjadi pada masa khalifah AlMa’mun tahun (813- 833 masehi) Muhammad ibn Musa
al_-Hawarizmi (780-850 masehi) dan al-Kindi (809-866 masehi). Konsep pendidikan
multi cultural ini telah dikenal pada zaman Al-Ma’mun pada institusi pendidikan
islam Bayt al-Hikmah, Masjid, Halaqah, Maktab, Ribath dan Majelis.
Indonesia
adalah bangsa yang terdiri dari berbagai macam kultur,, etnik dan agama.
Demikian pula islam sebagai agama mayoritas di Indonesia merupakan salah satu
agama ditengah-tengah pluralitas
agama-agama lain. Kemudian secara consensus para tokoh agama dan bangsa pada
waktu itu sepakat untuk hidup bersama dan berdampingan dalam satu wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga sampai sekarang ini, yang lebih
dikenal dengan lambang Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu
tujuan). Dasar keberadaan konstitusi itu adalah kesepakatan umum atas persetujuan
diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
Negara.
Dalam
UUD 1945 mengenai pluralisme agama terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2 yang
berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha ESA” Dan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-maisng dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.” Adapun mengenai kebebasan
berserikat dan berkumpul terdapat pada pasal 28, yang berbunyi: “ kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Keberadaan
konstitusi oleh rakyat diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka dapat
dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut
Negara.
Mengenai
kapan sejarah awal mula masuknya islam ke Indonesia, terdapat tiga teori yang
terkenal, yaitu: teori Makkah, teori Gujarat (India) dan Persia. Manurut teori
pertama, yang dikemukakan oleh Crawford, Islam dibawa dan datang dari Makkah,
yaitu pada abad ke 7 M, jauh lebih awal daripada teori yang keduan dan ketiga,
yaitu Gujarat dan Persia pada abad ke 13 M. Buya Hamka, seorang ulama dan
sekaligus sejarawan Islam Indoneisa termasuk yang meyakini teori ini, dengan
alasan bahwa pada abad ke 7 ini di pusat kerajaan Sriwijaya telah dijumpai
perkampungan-perkampungan pedagang Arab.
Menurut
teori kedua, Islam berasal dari Gujarat. Pendapat ini dikemukakan oleh
Mouquette, ilmuan Belanda, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
sekitar abad ke 13 sampai 14 Masehi. Hal ini didasarkan pada adanya tulisan
batu nisan yang ditemukan di Samudra Pasai, Aceh Timur, pada batu nisan
tersebuttertulis tulisan angka “17 Djulhijah 831 atau 21 september 1428 M”. ini
identic dengan natu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H
atau 119 M) di Gresik, Jawa Timur. Juga ditemukannya batu isan Malik al-Saleh,
Raja Samudra Pasai, yang berangkat tahun 698 atau 1297 M. menurut Pijnappel,
batu nisan-batu nisan tersebut sam adengan batu nisan yang ada di Cambay,
Gujarat. Kedua tempat itu sama-sama menganut mazhab Syafi’i. Demikian pula
menurutnya, para pembawa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar.
Sedangkan menurut Morrison dan Arnold bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh
orang-orang Coromandel dan Malabar. Selain sumber batu nisan diatas , sumber
lainnya didapat dari tulisan Marcopolo, pedagang Venesia, yang singgah di
Sumatera dalam perjalanan pulang dari Cina pada tahun 1292. Disana disebutkan
bahwa Perlak merupakan kota Islam.
Menurut
teori yang ketiga, Islam di Indonesia berasal dari Persia, pada abad ke 1 M.
Menurut Husein Djajadiningrat ini didasarkan pada adanya persamaan kultur dan
budaya Persia di Indonesia, anara lain tradisi 10 Muharam dan pengaruh bahasa
yang dipakai di Indonesia. Sebutan alfabetis huruf arab alif, be, te, tse dan
seterusnya yang dikenal dalam ejaan Arab Sunda dan istilah harakat jabar, jeer,
dan pees adalah semuanya merupakan bahsa Persi. Keamaan kultur dan budaya
tersebut sampai sekarang melekat dikalangan Islam NU yang mayoritas di
Indonesia. Tidak heran bila KH. Abdurahman Wahid menyatakan bahwa NU adalah
model Islam Syiah kulural tanpa Imamah. Maksudnya adalah ada kesamaan kultur
dan budaya antara Islam dikalangan NU dengan Islam Syiah di Persia tau Iran
sekarang.
Islam
sejak awal kedatangannya di Indonesia mewakili tradisi dan budaya unggul lintas
etnis. Bahkan Islam diterima sebagai agama pribumi menggantikan posisi Hindu
dan Budha tanpa benturan yang berarti. Berikut ini adalah gambaran tentang
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dari pemeluk-pemeluk agama lainnya,
sebagaiman dapat dilihat pada table berikut ini.
Kehadiran
Islam ini telah lama di Indonesia serta dianut oleh mayoritas Bangsa Indonesia,
sebagaimana terlihat pada table diatas. Karenanya, telah memengaruhi khazanah
budaya bangsa Indonesia, misalnya : Pernikahan, seni, hukum,
pemikiran,organisasi dan politik bernegara. Dimanapun Islam berada selalu dapat
berkompromi baik dengan kultur local, nasional, maupun internasional.
SUMBER/REFERENSI:
Fadlullah
(editor). 2016. Khazanah Peradaban Islam Nusantara. Serang: Tiara Kerta
Jaya