Filsafat Cina merupakan salah satu
filasafat tertua di dunia, selain filsafat India dan filsafat Barat, dan
dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah
perkembangan filsafat dunia. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya
dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa
Ada tiga tema pokok sepanjang
sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Harmoni
antara manusia dan sesama, manusia dengan alam, manusia dengan surga. Selalu
dicari keseimbangan antara keduanya. Toleransi terlihat dalam keterbukaan
terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan
suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Perikemanusiaan,
karena selalu manusia-lah yang merupakan pusat filsafat Cina, manusia yang pada
hakikatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan
memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesama
manusia.
Selalu dicarikan keseimbangan,
harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama,
antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam
keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari
pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas
yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran
Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat.
Manusialah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina.
Perkembangan Awal Filsafat Cina
Dalam memahami asal mula Filsafat
Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha
sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai
ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak
dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut.
Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat
sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu
yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan
masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asli, dan penghargaan yang
wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial.
Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil
pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok
orang/masyarakat.
Pengertian “asal mula’ ini haruslah
dilihat dalam konteks pandangan yang multi dimensi dan plural. Karenanya untuk
memahami asal mula filsafat cinapun, orang perlu mengacu pada permasalahan
tatanan yang dimunculkan, yakni historisitas, praktis, dan teoretis. Ketiga hal
ini harus dilihat dalam satu kesatuan. Selain itu perlu dipahami pula bahwa
pengalaman historis dan kultural ini memberi konteks bagi munculnya metodologi
dan kosmologi, yang kemudian dapat menerangkan pula tentang lahirnya bahasa dan
konstruksi filsafat. Pada akhirnya, filsafat itu kemudian memberi dampak bagi
perkembangan sosial dan kultural masyarakat. Dengan demikian, filsafat menjadi
sebuah sebuah self-refining, self-criticizing, dan juga sebagai proses
pemenuhan diri atas tradisi kultural.
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.
Pada masa budaya Lungshan (2600
SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang
berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang
tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah
keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang praktek li (ritual)
dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana
diterangkan dalam Period of Jade.
Tradisi pemikiran filsafat di Cina
bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon
Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan
pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk
ciri-ciri khusus yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa
hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti.
Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara
raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya
rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan
peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya
pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan
mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana
mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka
dengan baik.
Kaum bangsawan terpelajar ini telah
tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri
dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil
kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri
Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana
diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil
membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi
pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan
melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat
legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina.
Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang,
dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa
dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak
direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta
memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai
pemegang tampuk pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya
ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih
merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk
memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat
dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat
dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan
pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan
kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari
lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu
dengan penguasa yang lain.
Dilatarbelakangi keadaan seperti itu
filsafat Cina lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik,
kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki
ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam. Berbeda dengan
filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi
sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di
dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok
antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada
perubahan waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina
tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga
dari orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.
Dalam tradisi Zhou Yi, pengalaman
akan perubahan dalam alam pada masa Cina Kuno menjadi terorganisasi dan
terartikulasi ke dalam sebuah sistem pemikiran dan penjelasan tentang realitas.
Pengorgansiasian dan pengartikulasian inipun tidak hanya memberikan sebuah
pandangan kosmologis mengenai dunia dimana manusia dapat menemukan tempatnya
yang layak dan peran yang layak, tetapi juga mengembangkan sebuah cara
pemikiran menuju dunia yang berintegrasi dan the self, dan perluasan makna
fakta-fakta dan penentuan nilai pemahaman. Karenanya, Zhou Yi sebagai sebuah
pemikiran filsafat Cina, memberikan sebuah cara pencapaian keseimbangan,
sentralitas, harmoni dan komprehensi seperti halnya dalam sebuah perkembangan
transformatif, usaha kembali ke sumber akhir mereka.
Berikut ini adalah beberapa aspek
penting dari Zhou Yi sebagai sebuah cara pemikiran dan juga tentang dampaknya
terhadap filsafat Cina:
1. Zhou Yi berfokus pada totalitas
dari realitas dan hal-hal yang mengembangkan sebuah sistem realitas yang
lengkap/komplit. Kelengkapan (complitness) ini dimulai dari observasi dasar
terhadap oposisi komplementer ataupun terhadap polaritas sebagai penentu
keseluruhan.
2. Zhou Yi berfokus pada harmoni
sebagai suatu keadaan inseptif atas kreativitas (sheng) dan pada harmonisasi
sebagai the natural end state dari realitas dalam sebuah proses perubahan dan
transformasi.
3. sudut pandang kosmologis ini juga
memampukan kita untuk melihat dunia sebagai ceaseless activity terhadap
realisasi harmoni dan pada saat yang sama sebagai suatu harmoni dalam beberapa
tingkatan yang disiapkan bagi perkembangan kreativitas selanjutnya. Zhou Yi ini
dapat menjadi hal praktis dalam menuntun keputusan dan tindakan manusia. Salah
satu tugas terpenting dari keputusan manusia dan tindakannya adalah untuk
mengetahui dan menguasai masa depan. Namun yang jadi permasalahannya adalah
bahwa karena masa depan itu belum terbentuk, lalu bagimana kita dapat berharap
untuk bisa mengetahuinya? Zhao Yi mengatakan bahwa kita boleh menggambarkan
masa depan dalam pengertian model onto-cosmological dari pemahaman yang
berdasarkan pada totalitas yin-yang dan kecenderungan kreatifnya ke arah
harmonisasi dan harmoni.
Ciri-Ciri Filsafat Cina
Pertama-tama karena masalah politik
dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan,
maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan
masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung
mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah,
mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, adalah:
1. Dalam pemikiran kebanyakan orang
Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian
pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab
filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan
yang actual.
2. Secara umum filsafat Cina
bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan
melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat
dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar
filosof Cina.
3. Dalam pemikiran filosof Cina
etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika
dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di
lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang
menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral
dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti
etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
4. Meskipun menekankan pada
persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan
pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum
filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak
dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian
besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa
dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
5. Filsafat Cina secara umum
mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin
bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata
dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap
demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan
tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
6. Agama dipandang tidak terlalu
penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat
mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan
pada leluhur.
7. Penghormatan terhadap kemanusiaan
dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih
tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang
dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak
salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
8. Dilihat dari sudut pandang
intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti
mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas
segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah
pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina.
Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran
apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.
Periodisasi Filsafat Cina
Pokok pemikiran dari filsafat dan
kebudayaan Cina adalah perikemanusiaan. Filsafat Cina lebih pragmatis dengan
mengajarkan bagaimana harus bertindak supaya keseimbangan antara dunia dan
surga tercapai. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa semua makhluk
dikuasai oleh suatu nasib buta (Moira), dan ketika kebudayaan India masih mengajarkan
bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus,
maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasib dan
tujuannya.
Pada perkembangan melewati rentan
waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina dapat
dikategorikan ke dalam empat periode besar, yaitu: Zaman Klasik (600 – 200 SM),
zaman Neo-taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), zaman Neo-konfusianisme
(1000 – 1900 M) dan zaman Modern (setelah 1900)
1.
Zaman
Klasik (600 – 200 SM)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah
filsafat, seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun,
kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao”
(jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i”
(keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk,
prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah
terpenting dalam jaman klasik adalah: Konfusianisme
a. Konfusianisme
a. Konfusianisme
Kong Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah
orang pertama pengembang sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan
orang Cina yang paling besar filosofinya menyangkut moralitas orang perorang
dan konsepsi suatu pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan
memerintahnya lewat tingkah laku teladan yang sekarang telah menyerap dalam
kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Dari
pengaruh pemikiran inilah Confusianisme banyak menghasilkan para intelektual di
Cina, dan pengaruh intelektualnya ini berpengaruh terhadap sebagian penduduk di
dunia.
Confusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari
suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 SM di daerah Lu,di Shantung. Ia
mengajarkan bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah
“jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur
dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang
dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang
merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun
tindakan mereka berbeda.. Dalam bahasa Mandarin aliran ini disebut 儒家
Rujia. Rujia memang sering diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya
Rujia berarti filsafat cendikiawan, 儒 Ru sendiri berarti cendikiawan atau
sarjana. Pada usia muda, yakni 17 tahun, Confusius diangkat menjadi pengawas
kerajaan, sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian
menjadi Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai
mengajar. Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus
mengundurkan diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan
kacau pada masa itu menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat
dihormati, terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu
selama tiga tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat
dari zaman Wen sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus
kembali pada jalan yang telah ditempuh oleh yao dan Shun,yaitu dengan jalan
berbakti dan setia. Ia belajar lagi dari semua buku-buku yang ada tentang
agama, adat, sastra, sejarah, musik, dan lain-lain. Kemudian semuanya itu
digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman hidup bangsa Cina. Setelah habis
masa duka citanya ia mengunjungi loyang yang dibangun oleh Pangeran Chou. Ia
mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya tentang sejarah, kesusastraan,
perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat segala hal yang berarti dan
diketahuinya dalam tulisan yang berjudul “The Books of History (Shang Shu), The
pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The Book of Song.
Filsafat Confusianisme dan Pengaruhnya
Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip
keseimbangan yin dan yang. Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas
sehingga keseimbangan yang mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan
keseimbangan ini memberikan dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat
Cina.
Confusius menganjurkan agar orang belajar dan mempraktekan
apa yang dipelajari sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang
seperti ini beliau sebut sebagai Qun Zi atau seorang
intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag dalam segala situasi
agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan penghidupan dengan rasional.
Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta yang baik
terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam Confusianisme karena
para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan kekayaan.
Itulah sebabnya di Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa
peringkat atas diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan,
Singapore, Korea, dan Jepang yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi
ajaran Confusianisme.
Kemudian ajaran Confusianisme berdampak pula pada ekonomi
Cina itu sendiri. Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg
dijunjung tinggi, merupakan jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina
secara keseluruhan. Selain itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC),
menjadi sebuah motivasi besar bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin
agar mampu memberikan kontribusi bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka
hidup di negara orang lain.
Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar,
bahkan Amerika sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan
keberadaan Cina tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah
penduduk yang besar dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda
perekonomian Cina. Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan
kehidupan orang Cina, merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya
pencerahan bagi kehidupan yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara
otomatis merupakan faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual).
Filsafat Timur dianggap lebih magis dan bersifat irasional. Namun, ajaran
Confusianisme yang termasuk filsafat Cina ini yang sebenarnya bukan aliran
agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar
kepercayaan lama, sehingga mampu memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam
negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua ribu tahun. Orang Barat mengangap
filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional),
namun dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas bahwa pemikiran
confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai dengan
kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa
kejayaan Eropa 300 tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual
terinspirasi oleh ajaran Khonghucu. salah satu diantara mereka adalah Gottfried
Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu program pertukaran
budaya Timur-Barat, mungkin usul pertukaran budaya ini merupakan pertukaran
pertama internasional. dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa sekarang
ini filsafat cina tidak lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat
Confusianisme ini bisa mempengaruhi perkembangan pemikiran di dunia.
b. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup
sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan
manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse
adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal,
mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan
ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran
bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di
India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di
mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao).
Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan
kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教
Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris
sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學
Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti
Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism. Sebagai suatu ajaran
filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat
Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap
pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah
dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa
Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama
belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina
berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang
keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero
adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan
agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik
sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao
ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan
tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri
seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint
Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki status
sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme
juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri.
Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai
transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara
konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap
manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical
immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia
panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para
filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya
orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu
di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam
memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan,
“Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai
kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.”
Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya
dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun
tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa
orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih
hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di
antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan
kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak
melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut
juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan
yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme
sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip
utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada
kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme
lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang
sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para
filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang
konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan
dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
c. Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh
kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan
perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip
aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup
dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis
harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
d. Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo
Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran
untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan.
Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala
sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta
menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga
melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap
jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen
disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara asing
seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang lain
seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan
kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan
posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian menjadi pengembara (游侠/
yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai
berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan
keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan
kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ
lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan
pencapaian (Kung). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini,
pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa
dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikasi… tentang dasarnya (adakah
ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya
(adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan
aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut
Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan
rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa
diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu
prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan
secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio
belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis,
yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang,
supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
bermanfaat.
e. Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan
analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut
“sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat
Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam
perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika
dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang
hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
f. Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua
aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau
dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan
bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh
kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang
yang keras sekali.
g. Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian
dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius
mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren
harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang
dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk
mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing
tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo
Tzu mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi.
Yang Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya
hierarki ini dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa
kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu
tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut
lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim
masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak,
Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah
eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat
dikatakan sebagai wakil dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari
sayap realistic, karena ia menekankan control social dan kodrat manusia itu
buruk.
h. Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam
hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk
membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang
dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu
karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara
terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam,
dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang
dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka
menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti
ajaran mereka. Tetapi karena diantara mereka ada perbedaan dalam hal
menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh
Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas
dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan
berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat
bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak
atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau
kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic
Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia
harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.
i. Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan
suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran shi menurut
Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang. Han Fei
memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan bahwa
hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian
.Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa
roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri,
tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka
bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis
dan pengaruh manusia.
Menurut Sima Tan (meninggal tahun
110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan mereka berasal dari
keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para ahli ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik
2. Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000
M.)
Bersama dengan perkembangan
Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan
dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala
nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan dasar dari dua
unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental
(keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi
menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.
3.
Zaman
Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme
klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat
unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia
ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan
nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam
Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama
sekali asing.
Neo-Konfusianisme adalah bentuk
Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini
mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li
ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis
dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan.
Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari
Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai
Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis
lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing.
Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai
(kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari
Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi).
Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng
Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu
dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara
metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya
membentuk sekolah Lu wang.
4.
Zaman
Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar
tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup
besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina.
Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir
di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi,
kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina
dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat
China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat
misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat
Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.
Pemikir-Pemikir Aksial dan Formasi
Sekolah-Sekolah Filsafat
Perkembangan filsafat Cina pada
periode dari tahun 475-221 SM merupakan sebuah proses kreatif dimana dua
tradisi kebudayaan muncul sebagai respons atas perubahan sosial dan politik
saat itu. Humanisme politis dan naturalisme organik adalah dua posisi tipikal
sebagaimana lebih lanjut dikembangkan dalam konfusianisme dan Daoisme.
Mencius mengindentifikasikan
persoalan sentral waktu sebagai stabilitas politis dan sosial (ding).
Persepsinya dan wawasannya dalam persoalan ini adalah bahwa dunia ini akan
“distabilisasikan oleh being unified” (ding-yu-yi). Persoalannya adalah
bagaimana dunia ini disatukan dan ditata menurut sebuah sistem prinsip-prinsip,
contohnya: tatanan Zhou atau Li.
Selain itu, dikatakan pula bahwa
legalisme berkembang dari penyatuan dan perbandingan berbagai sekolah filsafat
pada awal-awalnya, seperti konfusianisme, Mohisme, Daoisme. Dari konfusianisme
berupa pengontrolan massa dengan otoritas dan doktrin tentang alam jahat manusia
(Hsun Tzu), dari Mohisme berupa prinsip kesamaan dan utilirianisme, dari
Daoisme berupa prinsip-prinsip non-aksi (wu-mei). Faktor terpenting dari
pemikiran legalis adalah pertimbangan dari kebutuhan mendesak untuk
pemerintahan yang tersentralisasi dan tersatukan. Selain empat sekolah
tersebut, dalam periode Cina klasik juga muncul nama-nama sekolah, seperti
sekolah Yin-Yang Wu-Xing, sekolah strategi Militer (Bing Jia), sekolah agronomi
(Nung Jia) dan sekolah Diplomatik (Zong Heng Jia)
Sekolah-sekolah filsafat ini
mengetengahkan sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah rekonstruksi
tradisional, penciptaan standard baru ataupun paradigma baru. Karl Jaspers
menyebutnya sebagai abad aksial. Para filsuf yang dikenal berpengaruh pada
periode klasik sejarah cina ini adalah para pemikir aksial. Mereka menanggapi
secara kritis abad mereka dan terhadap dunia waktu mereka, dan yang
mengembangkan arah-arah dan visi-visi pada sebuah transformasi nilai untuk
seluruh kemanusiaan. Ini adalah sebuah integrasi kreatif dari li dan tradisi
zhi. Apa yang disebut kreatif dalam wawasan mereka itu ditarik dari
keterlibatan eksistensial mereka dalam dunia dan kemnausiaan.
Beberapa ciri dari “pemikir aksial”:
1. Mereka disebut pemikir aksial
apabila mereka memikirkan bagi dunia, sebuah keseluruhan masyarakat, kelas
sosial, sebuah lokalitas khusus dan dirinya.
2. Mereka mampu untuk menancapkan
pengaruhnya pada generasinya dan generasi sesudahnya dalam sebuah cara yang
alami dan spontan. Tidak ada manuver politik dalam mempengaruhi masyarakat.
Pengaruh tersebut muncul melalui jalur sosial dan kultural seperti: mengajar,
lecturing dan percakapan atau dialog dalam sebuah lingkungan intelektual
ataupun yang berbasiskan akademis.
Ada beberapa macam tanggapan kritis
di antara para filosof, yang mana masing-masing mempresentasikan sebuah
tindakan kritik dan evaluasi atas realitas sosial dan politik.
1. Tipe pertama tanggapan kritis adalah
melepaskan realitas sosial dan politik dan dalam pengertian untuk mengatasi
realitas sosial politik untuk sesuatu yang sungguh memang bersifat utopia
2. Tipe kedua adalah tanggapan
konfusian atas rekonstruksi. Dalam basis pengalaman kulturalnya dan refleksi
historisnya, konfusius melihat adanya nilai yang menekankan kembali tradisi li.
Konfusius juga menekankan soal eksistensi dan kekuatan ren, kekuatan dari
transformasi moral atas individu manusia dalam relasinya dan transaksi dengan
yang lainnya. Ren dalam filsafat konfusius berarti kualitas yang menegaskan
kemanusiaan yang mempunyai kekuatan untuk mengembangkan kemanusiaan dari pusat
seorang individu ke sebuah komunitas melalui hubungan manusia yang tertata
dengan baik dan atas pertemanan yang harmonis.
Konfusius mengubah political ren ke
dalam suatu moral and human ren. Ada 3 point yang ditunjukkan. Yang pertama,
belas kasih dan kebajikan terhadap orang-orang secara umum diperluas dengan
melibatkan unsur perasaan dan tindakan pribadi individu dalam masyarakat. Yang
kedua, bukanlah penguasa itu sendiri yang mampu untuk mempraktekan ren atau
yang harus mempraktikannya. Semua manusia mampu mempraktekkannya dan harus
mempraktekannya supaya lebih manusiawi dan dimanusiakan. Yang ketiga, ren harus
dipandang sebagai kekuatan batin dari seorang pribadi manusia, yang dapat
dilatihkan dan yang membutuhkan adanya perhatian yang konstan supaya dapat
tumbuh ke dalam sebuah kesempurnaan.
Terkait dengan li (praktek), yi
adalah esensi dari tindakan li. Dalam relasinya dengan yi, li adalah realisasi
dari pemikiran akan yi. Dalam relasinya dengan ren, yi adalah objektivikasi
dari ren. Dalam relasinya dengan yi, ren adalah kekuatan yi yang memotivasi.
Dengan demikian, ren adalah bentuk yang paling konkret dan sempurna dari semua
nilai keutamaan dan merupakan integrasi dari semua keutamaan
Demikianlah perjalanan sejarah
Filsafat Cina yang coba dirunut. Begitu banyak kelemahan serta (mungkin)
kesalahpahaman dalam memahami sejarah filsafat ini yang memang tidak mudah
apalagi begitu banyak istilah asing yang digunakan. Namun penulis mencoba
semaksimal mungkin untuk menguraikan dengan baik bagaimana perjalanan ini mulai
dari abstraksi dinasti Zhou hingga Neo konfusianisme. Pengaruh ajaran mereka
memainkan peranan penting sepanjang sejarah Cina bahkan hingga sekarang. Meski
terdapat sikap saling kritik antara filsuf satu dengan lainnya hal tersebut
nyatanya telah membentuk suatu atmosfer pemikiran Cina secara keseluruhan.
Sumber/referensi:
1. Creel, H. G. Chinese Thought from Confusius to Mao Tse
tung. 1953. Chicago: The University of Chicago Press.
2. Yu-Lan, Fung. A History of Chinese Philosophy, vol. I
& II. 1952. Princeton: Princeton University Press.
3. ———. Short History of Chinese Philosophy. 1948. New York:
The Free Press.
4. Liu, JeeLoo. An Introduction to Chinese Philosophy – From
Ancient Philosophy to Chinese Buddhism. 2006. Blackwell Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar