Sabtu, 10 Desember 2016

SUBTANSI BERPUASA


KEWAJIBAN puasa (shaum) atas orang-orang beriman memiliki substansi sekaligus tujuan luhur yaitu melahirkan pribadi-pribadi yang takwa. Allah SWT berfirman:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Dalam literatur-literatur klasik Islam, takwa didefinisikan sebagai  “upaya sadar dalam menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.” Dengan demikian—seperti ungkapan Yusuf Qardhawi (2004)—puasa diorientasikan untuk membentuk pribadi-pribadi yang taat menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nyadalam pengertian dan cakupannya yang lebih luas dan menyeluruh.
Dalam tataran praktisnyatak sedikit yang beranggapan bahwa perintah dan larangan-Nya hanya terbatas pada ajaran-ajaran yang sifatnya ritualistik. Sebagai contoh, dengan menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga terbenam matahari kita sudah merasa sudah berpuasa. Sementara itu mata, telinga, mulut dan hati kita tidak ikut berpuasa dari melihat, mendengar, mengatakan dan meniatkan keburukan. Padahal puasa, seperti yang disinggung oleh Imam al-Ghazali, puasa merupakan upaya ikhlas menahan lapar, dahaga dan hal-hal lain yang membatalkannya, termasuk upaya menahan diri dari yang menghilangkan nilai substansinya.
Mengafirmasi al-Ghazali, maka mengumbar pandangan mata, menguping hal-hal yang buruk, membebaskan mulut berkata-kata yang jelek dan membiarkan hati meniatkan sesuatu yang tidak pantas adalah hal-hal yang dapat menghilangkan keberkahan dari puasa yang lakukan. Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata buruk (sewaktu berpuasa) maka Allah tidak peduli dengan lapar dan dahaganya.” (al-Hadits).
Dalam konteks substansi dan makna transformatif, puasa sejatinya mengajarkan banyak hal.Pertama, kepedulian sosial. Bahwa kepedulian sosial bukan hanya pada bulan puasa tapi sepanjang hayat. Sahur dan buka puasa bersama kaum papa dan anak-anak jalanan, misalnya, belum-lah menyentuh kepedulian sosial yang dipesankan puasa. Itu hanya semacam pelipur lara bagi “kaum kusam” untuksesaat melupakan himpitan hidup di tengah-tengah dunia yang permisif, rakus dan hedonis.
Kepedulian sosial yang diinginkan puasa lebih bermakna pemberdayaan kaum dhu’afa (alit). Memberdayakan kaum alit bukan dengan memberi mereka ikan melainkan kail sembari membimbing mereka bagaimana menggunakan kail agar mendapatkan ikan yang cukup. Dengan hanya memberi sisa makanan atau pakaian bekas kepada tetangga yang fakir, miskin atau yang berekonomi lemah belum dapat dikatakan sebagai memberi kemanfataan kepada sesama. Itu hanya upaya kecil supaya tidak dicap bakhil (Didin Hafidudin, 2006).
Laparnya puasa di siang hari selama sebulan mengajarkan bahwa di sekeliling kita masih terlalu banyak orang yang lapar, bukan hanya di siang hari tapi siang dan malam. Bukan hanya sebulan, namun sepanjang tahun. Puasa mengajarkan pengendalian diri; mata, telinga, mulut, hati dan seluruh anggota badan, bukan hanya sepanjang bulan Ramadhan tapi sepanjang hayat dikandung badan.
Kedua, kejujuran. Tidak ada yang mengetahui apakah kita berpuasa atau tidak selain diri kita sendiri, malaikat dan tentu saja Allah SWT. Selama kita tidak makan, minum atau merokok di depan orang, orang pun akan percaya kalau kita sedang berpuasa. Di sinilah kejujuran diuji. Puasa menginginkan kejujuran bukan hanya pada bulan Ramadhan, namun selama-lamanya, dalam hal apa pun, kapan dan di mana pun.
Ketiga, kesederhanaan. Selama berpuasa kita makan hanya dua kali; makan sahur dan saat berbuka. Ini mengajarkan kita untuk menempuh pola hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Puasa bukan memindahkan kebiasaan makan dari siang ke malam. Puasa mengajarkan keteraturan dan ketepatan waktu. Imsak (menghentikan makan dan minum beberapa menit sebelum awal waktu berpuasa dimulai) mengajarkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Ta’jil(bergegas berbuka puasa) mengajarkan kita untuk bersegera memberikan hak. Setelah sehari penuh tubuh menjalankan tugasnya, yaitu berpuasa, maka sudah sepantasnya kita bergegas untuk memenuhi haknya akan makan begitu waktu buka tiba. Dan segera setelah haknya dipenuhi, kita dapat menuntutnya kembali untuk menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya. Keseimbangan antara hak dan kewajiban tercermin di sini.
Keempat, evaluasi diri. Bagi umat Islam Indonesia, Ramadhan kali ini—seperti halnya beberapa Ramadhan sebelumnya—hadir di tengah-tengah kondisi bangsa yang (sangat) tidak menggembirakan dalam hampir semua aspek kehidupannya. Menurut Kuntowijoyo (2000), pemegang kendali kekuasaan atau pejabat negara (publik) memiliki tanggungjawab memperhatikan dan memberdayakan rakyat. Dalam konteks Ramadhan, ini bermakna puasa harus menjadi momen untuk benar-benar memerhatikan nasib rakyat  yang masih harus berjuang keras untuk bisa sekadar bertahan hidup.   
Bagi kalangan berpunya, Ramadhan kali ini harus menjadi awal untuk berpuasa dalam makna, misalnya membuka hati, meneguhkan rasa dan memantapkan pemahaman bahwa mereka mempunyai tanggung sosial yang besar, yaitu mendistribusikan sebagian harta milik mereka dalam rangka memberdayakan—bukan sekadar menyantuni—kaum lemah.
Selebihnya, bagi siapapun kita, kewajiban zakat dan pengupayaan infak juga sedekah harus dimaknai sebagai penguatan institusi atau lembaga yang melakukan pemberdayaan secara mendasar dan menyeluruh, bukan cuma karitas atau labeling. Itulah yang membuat ajaran agama, dalam hal ini puasa dan kewajiban lain yang melingkupinya bertransformasi secara praktis dalam segala level sekaligus: Skala individu, keluarga, masyarakat, institusi atau kelembagaan sosial dan negara.

Sudah banyak pakar membahas hikmah dan filosofi ibadah puasa. Ada yang mengaitkan puasa dengan teori-teori kedokteran, seperti dilakukan Muhammad Farid Wajdi, salah seorang murid Shekh Muhammad Abduh. Ada pula yang mengaitkannya dengan kepedulian sosial dan rasa kesetiakawanan, serta tidak sedikit pula yang mengaitkan puasa dengan pendidikan kepribadian. Berbagai hikmah yang dikemukan para pakar di atas, tentu saja memiliki alasan-alasan dan logikanya sendiri.
Dalam Alquran, menurut penyelidikan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfadz Alquran , kata puasa ( al-shaum ) terulang sebanyak 14 kali dalam berbagai bentuknya. Khusus mengenai puasa Ramadhan, dapat dilihat keterangannya secara beruntun dalam surah al-Baqarah ayat 183 s/d 167. Berdasarkan penyelidikannya yang mendalam terhadap ayat-ayat mengenai puasa di atas, Abdul Halim Mahmud, mantan
Rektor al-Azhar, dalam bukunya Asrar al-'Ibadah (Rahasia Ibadah), mengemukakan tiga hikmah penting ibadah puasa.
Pertama, puasa diwajibkan sebagai sarana mempersiapkan individu Muslim menjadi orang takwa (Q. S. 2: 183). Karena tujuan utama puasa adalah takwa, maka menurut Abdul Halim Mahmud, setiap orang yang berpuasa harus mampu mengorganisir seluruh organ tubuhnya dan mengatur semua aktivitasnya ke arah tujuan yang hendak dicapai itu (takwa).

Kedua, puasa diwajibkan sebagai syukur nikmat. Allah SWT memerintahkan puasa setelah Ia menerangkan bahwa Ramadhan yang mulia itu adalah bulan yang di dalamnya petunjuk Allah yang amat sempurna diturunkan, yaitu Alquran (Q. S. 2: 185). Karena itu, turunnya wahyu itu patut disambut dan ''dirayakan''. Namun, perayaan ini haruslah dengan kegiatan yang sesuai. Dalam kaitan ini, penyambutan dan ''perayaan'' itu hanya patut dilakukan dengan mempersiapkan diri untuk bisa menerima petunjuk itu dengan cara yang paling baik, yaitu puasa.
Ketiga, puasa membuat pelakunya dekat dengan Tuhan dan semua permohonan dan doanya didengar dan dikabulkan. Inilah makna firman Allah: ''Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku'' (Q.S. 2.186).


Menyimak beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, nyatalah bahwa puasa merupakan sesuatu yang semestinya kita lakukan. Ia bukan semata kewajiban, melainkan suatu kebutuhan. Untuk itu, setiap muslim harus menyambut gembira datangnya Ramadhan ini dan melaksanakan ibadah puasa dengan penuh suka cita. Dengan begitu, setiap kita mempunyai alasan moral untuk mendapat pengampunan Tuhan dan pembebasan dari siksa-Nya.  ahi (Ilyas Ismail)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar