Sabtu, 10 Desember 2016

FILOSOFI TUGU MONUMEN NASIONAL


Apakah kalian pernah pergi ke Jakarta? Jika kalian pernah mengunjungi  ibukota ini tentunya kalian pernah melihat sebuah tugu yang sangat terkenal di Jakarta yaitu Monas. Tahukah kalian filosofi dari bagunan tersebut? Mari kita bahas...
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emasyang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.
Monumen Nasional atau yang biasa kita sebut Monas adalah simbol ikonik Kota Jakarta. Bukan hanya sekedar monumen biasa, Monas juga melambangkan semangat perjuangan masyarakat Indonesia yang begitu besar.
Sejarah mengatakan, Ide dan gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah 9 tahun kemerdekaan diproklamirkan. Soekarno ingin Jakarta memiliki sebuah Tugu yang mewakili kepribadian dan karakter Bangsa Indonesia, sebagai lambang kekuatan rakyat.
Beberapa hari setelah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.
Panitia itu bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya masyarakat. Setelah itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan ‘Tim Yuri’ yang diketuai langsung olehnya.
Dalam buku ‘Bung Karno Sang Arsitek’ karya arsitek Yuke Ardhiati, Sukarno menggelar sebuah sayembara terbuka tentang desain sebuah tugu yang akan dibangun di Jakarta pada 17 Februari 1955. Ada 51 arsitek yang mengajukan rancangan, dan hanya satu yang dipilih, yakni karya Frederich Silaban, meski sebenarnya desainnya dinilai tak memenuhi syarat bangunan tugu.
Sayembara kembali dibuka pada 10-15 Mei 1960. Kali ini pesertanya mencapai 222 orang dengan 136 desain bangunan. Sayang, tak ada satupun yang memenuhi keinginan Sukarno. Waktu itu arsitek lulusan Technische Hogeschool―kini Institut Teknologi Bandung―itu menginginkan bangunan tugu yang mencerminkan revolusi serta kepribadian dan cita-cita rakyat Indonesia.
Tugu itu, haruslah memiliki syarat yakni bentuk tugu yang dibangun benar-benar bisa menunjukan kepribadian bangsa Indonesia, bertiga dimensi, tidak rata, tugu yang menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu pualam yang tahan gempa, tahan kritikan zaman sedikitnya seribu tahun serta dapat menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan.
“(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.
Di hadapan peserta sayembara, Sukarno mengakui sulitnya mewujudkan ide itu dalam bentuk desain bangunan. Akhirnya, rancangan yang pernah diajukan Silaban diambil alih oleh Sukarno dan Raden Mas Soedarsono untuk dimodifikasi. Hasilnya, jadilah Tugu Monumen Nasional atau Monas seperti yang sekarang ini.
Tugu Monas mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Bangunan itu memiliki ketinggian 132 meter dengan bentuk menyerupai modifikasi artefak Lingga dan Yoni. Lingga merupakan simbol kejantanan seorang pria (phallus), dan Yoni sebagai simbol perempuan atau kesuburan.
Sukarno mendapat inspirasi tersebut dari artefak yang ada di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. Dia menyebut Candi Sukuh merupakan salah satu monumen yang dibangun pada zaman Hindu. “Pada waktu itu, monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” ujar Sukarno dalam pidato saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.
Bicara soal filosofis, makna Lingga terkandung secara tersirat di dalam Tugu Monas, dan makna Yoni lebih disisipkan dalam desain Gedung DPR.
Monas sebagai lambang lingga (phallus) melambangkan laki-laki atau ayah. Itu sebabnya Monas dibangun di dekat Istana Merdeka. Si ayah menggambarkan pihak eksekutif yang tempatnya ada di Istana Merdeka.
Kemudian Gedung DPR-RI, yang memiliki unsur-unsur bentuk Yoni atau vagina dan labium yang dilambangkan sebagai ibu (secara politis, dia adalah legislatif). Sang ibulah tempat melahirkan anak (Undang-Undang) setelah bekerjasama dengan sang ayah (eksekutif) yang ada di Istana Merdeka.
Dalam “Tugu Nasional-Laporan Pembangunan” yang diterbitkan tahun 1978, disebutkan, selain lambang kesuburan pria dan perempuan, bentuk tugu itu melambangkan alu dan cawan, alat penting yang dimiliki rakyat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bisa pula tugu dan cawan itu perlambang negatif-positif, siang-malam, baik buruk dan dua sisi yang selalu abadi di dunia.
Arsitek Yuke Ardhiati menyebut karya-karya arsitektur Sukarno banyak menonjolkan sisi keindonesiaan. “Tentunya keindonesiaan pada zamannya,” ucapnya kepada detik beberapa waktu lalu. Di Tugu Monas, misalnya, semangat perjuangan Indonesia yang tak pernah padam dilambangkan dalam simbol api di puncaknya. Ternyata, selain seorang proklamator, Bung Karno juga seorang seniman dan budayawan ulung.

Nah itulah informasi menganai filosofi tugu monument nasioanal yang meyimpan makna yang begitu dalam. Semoga dapat menambah wawasan kita semua, dan membangkitkan semangat seperti filosofi dari monument nasional tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar