Kata hijab selalu
di identikan dengan busana yang selalu dikenakan oleh wanita muslimah. Dan
seiring berjalannya waktu, di era tahun ini, pembahasan soal hijab sering
menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan karena munculnya model model hijab
yang sedang booming. Supaya tidak ada kesalah pahaman mengenai hijab, kami akan
mengurai sejarah hijab dan bagaimana filosofinya.
Pada masa pra islam, hijab telah
dikenal di beberapa agama Majusi, Yahudi, dan Nasrani, serta pada kebudayaan
masyarakat Romawi, Persia, dan India. Pada masyarakat Arab, hijab dikenal
ketika datangnya islam. Bagi masyarakat Yahudi, aturan hijab sangat ketat bagi
perempuan. Mereka wajib mengenakan hijab pada saat keluar rumah. Jika aturan
itu dilanggar maka haram bagi suaminya dan berhak menceraikannya tanpa membayar
mahar.
Menurut Will Durant dalam buku
Wanita dan Hijab karya Sayyid Mutahhari. Pada masyarakat Persia, penerapan
hijab baru ditetapkan pada masa pemerintahan Daryusy, namun penggunaannya
terbatas pada wanita yang sedang haid. Dengan demikian, bagi perempuan yang
sedang haid, mereka wajib mengenakan kerudung ketika mereka keluar rumah. Hal
tersebut diperngaruhi oleh peraturan yang diterapkan pada masyarakat Majusi.
Jilbab dalam tradisi Islam adalah
diwajibkan bagi wanita, dipadukan dengan khimar (kerudung). Khimar adalah kain
yang menutup kepala hingga dada sementara jilbab adalah pakaian yang menjulur
ke seluruh tubuh sampai hampir menyentuh tanah. Kewajiban ini didapat dari
sumber kitab nya umat muslim yakni QS An-Nur 31 dan Al Ahzab 59. Bahkan
sekarang lagi trend tentang rumus jilbab syar'i yaitu ditambahkan satu ayat
lagi mengenai tabbaruj yakni di surat Al Ahzab 33. Istilah jilbab, khimar,
hijab, dan kerudung saat ini secara umum sudah baur secara definisi. Namun jika
orang berbicara jilbab pastinya sudah tahu maksudnya adalah kain penutup aurat.
QS An-Nur 31 :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dari terjemahan di atas, terdapat
kelonggaran bahasa yang justru merupakan toleransi tafsir dalam perkembangan
waktu, budaya dan kehidupan sosial. Contohnya mengenai apa yang biasa tampak
dari padanya, ini kan akan berbeda-beda objeknya bila ditinjau dari perbedaan
adat dan budaya yang notabene dunia memiliki ribuan suku dan etnik budaya. Bagi
orang amerika misalnya melihat paha merupakan hal yang sudah lumrah, bagi warga
aborigin melihat payudara juga hal yang biasa, untuk suku jawa melihat wajah
dengan rambut terurai juga adalah sangat biasa. Maksudnya biasa disini adalah
tidak sampai mengundang syahwat bagi pria. Lho kenapa larinya jadi ke syahwat.
Justru dilanjutan ayatnya,laki-laki yang tidak mempunyai keinginan,
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat, menunjukan arah pembicaraan
nya ke arah situ.
QS.Al-Akhzab 59:
“hai nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah
mereka mengulurkan hijabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Pada ayat ini
lebih jelas lagi tujuan dari penggunaan jilbab adalah untuk tidak diganggu,
atau dengan kata lain digoda. Nah parameternya sekarang lebih mudah,
gampangannya jika ada perempuan berbusana tertentu berjalan di depan kumpulan
pria, dan pria-pria itu bersiul-siul menggoda, berarti ada yang salah dengan
busana wanita itu. Atau bisa juga ada yang salah dengan lokasi penggunaan busana
itu. Namun bisa juga sih ada yang salah dengan pria nya. Tapi yang jelas selama
berbusana nya tidak menimbulkan ancaman atau gangguan pada dirinya bisa saya
artikan bahwa perempuan tersebut sudah berjilbab.
Kalau Al Ahzab 59
berhubungan dengan kegunaan jilbab agar perempuan tidak mendapat ancaman atau
gangguan, kalau An-Nissa 31 lebih kepada libido nya laki-laki dalam melihat
aurat perempuan sampai-sampai dibatasi siapa saja yang boleh melihat. Seperti
hanya suaminya, saudaranya, anak-anaknya, dsb. Tentang mahram ini bisa panjang
lagi jika dilihat dari definisinya, misalnya saja pelayan laki-laki yang tidak
memiliki keinginan terhadap perempuan, zaman sekarang kan sulit sekali untuk
menentukan mana yang berkeinginan dan tidak, bahkan pria renta pun kalo lihat
wanita sexy belum tentu tahan.
Jadi
kesimpulannya dengan memperhatikan bahwa bahasa Al Quran adalah sangat luwes.
Maka wanita perlu mengenal bukan hanya budaya berbusana tetapi juga busana
budaya. Karena pada setiap suku bangsa memiliki kaidah-kaidah kesopanan
yang berbeda-beda dan tentunya kaidah ini berhubungan dengan libidonya
laki-laki tadi sekaligus berhubungan dengan munculnya gangguan atau ancaman
bagi wanita. Budaya lokal. Ini yang penting, perlu mengetahui budaya lokal dan
jangan menampakkan yang lebih dari batas-batas busana kebudayaan lokal.
Misalnya suku jawa saja yang gampang, budaya lokal mengajarkan busana yang
menutupi dada kebawah. Rambut muka kuping leher tidak masalah dalam busana
jawa, dan jangan ingin menampakkan yang lebih dengan ikut-ikutan suku papua
yang boleh memperlihatkan payudara misalnya. Bagi suku Papua ini boleh secara
lokal.
Dengan batasan
budaya ini saya rasa sudah mencangkup kedua ayat Al Quran tadi, perempuan
dengan pakaian yang berbudaya, dengan memperhatikan kaidah-kaidah lokal, serta
kepekaan terhadap pertumbuhan norma sosial, maka saya rasa perempuan tsb sudah
berjilbab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar