Kamis, 29 Desember 2016

FILOSOFI BERHIJAB


Kata hijab selalu di identikan dengan busana yang selalu dikenakan oleh wanita muslimah. Dan seiring berjalannya waktu, di era tahun ini, pembahasan soal hijab sering menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan karena munculnya model model hijab yang sedang booming. Supaya tidak ada kesalah pahaman mengenai hijab, kami akan mengurai sejarah hijab dan bagaimana filosofinya.
Pada masa pra islam, hijab telah dikenal di beberapa agama Majusi, Yahudi, dan Nasrani, serta pada kebudayaan masyarakat Romawi, Persia, dan India. Pada masyarakat Arab, hijab dikenal ketika datangnya islam. Bagi masyarakat Yahudi, aturan hijab sangat ketat bagi perempuan. Mereka wajib mengenakan hijab pada saat keluar rumah. Jika aturan itu dilanggar maka haram bagi suaminya dan berhak menceraikannya tanpa membayar mahar.
Menurut Will Durant dalam buku Wanita dan Hijab karya Sayyid Mutahhari. Pada masyarakat Persia, penerapan hijab baru ditetapkan pada masa pemerintahan Daryusy, namun penggunaannya terbatas pada wanita yang sedang haid. Dengan demikian, bagi perempuan yang sedang haid, mereka wajib mengenakan kerudung ketika mereka keluar rumah. Hal tersebut diperngaruhi oleh peraturan yang diterapkan pada masyarakat Majusi.
Jilbab dalam tradisi Islam adalah diwajibkan bagi wanita, dipadukan dengan khimar (kerudung). Khimar adalah kain yang menutup kepala hingga dada sementara jilbab adalah pakaian yang menjulur ke seluruh tubuh sampai hampir menyentuh tanah. Kewajiban ini didapat dari sumber kitab nya umat muslim yakni QS An-Nur 31 dan Al Ahzab 59. Bahkan sekarang lagi trend tentang rumus jilbab syar'i yaitu ditambahkan satu ayat lagi mengenai tabbaruj yakni di surat Al Ahzab 33. Istilah jilbab, khimar, hijab, dan kerudung saat ini secara umum sudah baur secara definisi. Namun jika orang berbicara jilbab pastinya sudah tahu maksudnya adalah kain penutup aurat.
QS An-Nur 31 :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dari terjemahan di atas, terdapat kelonggaran bahasa yang justru merupakan toleransi tafsir dalam perkembangan waktu, budaya dan kehidupan sosial. Contohnya mengenai apa yang biasa tampak dari padanya, ini kan akan berbeda-beda objeknya bila ditinjau dari perbedaan adat dan budaya yang notabene dunia memiliki ribuan suku dan etnik budaya. Bagi orang amerika misalnya melihat paha merupakan hal yang sudah lumrah, bagi warga aborigin melihat payudara juga hal yang biasa, untuk suku jawa melihat wajah dengan rambut terurai juga adalah sangat biasa. Maksudnya biasa disini adalah tidak sampai mengundang syahwat bagi pria. Lho kenapa larinya jadi ke syahwat. Justru dilanjutan ayatnya,laki-laki yang tidak mempunyai keinginan, anak-anak yang belum mengerti tentang aurat, menunjukan arah pembicaraan nya ke arah situ.
QS.Al-Akhzab 59:
“hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan hijabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Pada ayat ini lebih jelas lagi tujuan dari penggunaan jilbab adalah untuk tidak diganggu, atau dengan kata lain digoda. Nah parameternya sekarang lebih mudah, gampangannya jika ada perempuan berbusana tertentu berjalan di depan kumpulan pria, dan pria-pria itu bersiul-siul menggoda, berarti ada yang salah dengan busana wanita itu. Atau bisa juga ada yang salah dengan lokasi penggunaan busana itu. Namun bisa juga sih ada yang salah dengan pria nya. Tapi yang jelas selama berbusana nya tidak menimbulkan ancaman atau gangguan pada dirinya bisa saya artikan bahwa perempuan tersebut sudah berjilbab.
Kalau Al Ahzab 59 berhubungan dengan kegunaan jilbab agar perempuan tidak mendapat ancaman atau gangguan, kalau An-Nissa 31 lebih kepada libido nya laki-laki dalam melihat aurat perempuan sampai-sampai dibatasi siapa saja yang boleh melihat. Seperti hanya suaminya, saudaranya, anak-anaknya, dsb. Tentang mahram ini bisa panjang lagi jika dilihat dari definisinya, misalnya saja pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan terhadap perempuan, zaman sekarang kan sulit sekali untuk menentukan mana yang berkeinginan dan tidak, bahkan pria renta pun kalo lihat wanita sexy belum tentu tahan. 
Jadi kesimpulannya dengan memperhatikan bahwa bahasa Al Quran adalah sangat luwes. Maka wanita perlu mengenal bukan hanya budaya berbusana tetapi juga busana budaya. Karena pada setiap suku bangsa memiliki kaidah-kaidah kesopanan yang berbeda-beda dan tentunya kaidah ini berhubungan dengan libidonya laki-laki tadi sekaligus berhubungan dengan munculnya gangguan atau ancaman bagi wanita. Budaya lokal. Ini yang penting, perlu mengetahui budaya lokal dan jangan menampakkan yang lebih dari batas-batas busana kebudayaan lokal. Misalnya suku jawa saja yang gampang, budaya lokal mengajarkan busana yang menutupi dada kebawah. Rambut muka kuping leher tidak masalah dalam busana jawa, dan jangan ingin menampakkan yang lebih dengan ikut-ikutan suku papua yang boleh memperlihatkan payudara misalnya. Bagi suku Papua ini boleh secara lokal. 

Dengan batasan budaya ini saya rasa sudah mencangkup kedua ayat Al Quran tadi, perempuan dengan pakaian yang berbudaya, dengan memperhatikan kaidah-kaidah lokal, serta kepekaan terhadap pertumbuhan norma sosial, maka saya rasa perempuan tsb sudah berjilbab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar