Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alami, ia
sangat menekankan umatnya agar menjadi umat yang unggul dalam segala bidang
sehingga bentuk kesucian dan keagungan islam termaniveastasi lewat keluhuran
umatnya. Oleh karena itu tidak heran bila terdapaat banyak ayat al-Qur’an yang
menyerukan kepada penggunaan akal, seperti “afala ta’qiluun, afala
tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun. Bahkan ayat
pertama yang diturunkan adalah iqra’ (baca). Ini menunjukkan bahwa islam sangat
peduli terhadap peningkatan intelektualitas umatnya.
Oleh sebab itu, Seorang muslim harus senantiasa
menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan,
beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan
pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal
yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk
meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bukan sebaliknya.
Seorang intelektual muslim dikenal tidak hanya
aktif dalam berfikir, menguasai ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi
persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual muslim itu juga dihitung dari
segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna itu, seseorang yang
ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus mampu
memperlihatkan sikap kepribadiannya yang islami, aktif dalam
masyarakat, kritis terhadap persoalan-persoalan umat serta benar-benar komit
dengan keislamannya. Oleh karena itu mempersiapkan diri menjadi seorang
intekltual sangatlah penting, terutama bagi generasi penerus peradaban umat
islam.
Pengertian Intelektual
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), Intelektual/in-te-lek-tu-al/inteléktual/1. cerdas,
berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 (yang)
mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3 totalitas
pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Sedangkan
menurut beberapa definisi intelektual
menurut para ahli, diantaranya :
1. Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan
seseorang untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam
hubungannya dengan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991).
2. Pengertian intelektual menurut Cattel (dalam Clark,
1983) adalah kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan
memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berfikir abstrak,
menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan
baru.
3. David Wechsler (dalam Saifuddin Azwar, 1996)
mendefinisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta
menghadapi lingkungan secara efektif.
Jadi, intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai
informasi berfikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efisien dan
efektif.
Intelektual Muslim
Intelek sebagai seorang terpelajar
dalam Al-Quran disebut Alim atau Ulama. Kalata ‘alim menunjuk kepada individu
yang memiliki pengetahuan mendalam tentang alam semesta, mimpi dan amtsal. Kata
ulama dalam Al-Quran diulang dua kali, yakni pada surat Asy-Syu’ara [26] ayat
197 dan surat Fathir [35] ayat 28.
Dan apakah tidak cukup menjadi bukti
bagi mereka, bahwa para ulama bani israil mengetahuinya? (QS. Asy-Syu’ara [26]:197)
Sesungguhnya yang takut kepada Allah
dan hamba-hambaNya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha pengampun. (QS.
Fathir [35]:28)
Kata ulama pada surat Asy-Syu’ara
[26]:197 menunjukkan pada ahli agama Bani Israil yang mengetahui tentang sifat
Al-Quran sebagai wahyu Allah dan kebenaran sifat yang disandang Al-Quran karena
sesuai dengan apa yang mereka ketahui dari kitab-kitab yang mereka terima,
yakni Taurat, Injil dan Zabur. Mereka mengetahui bahwa Al-Quran adalah wahyu
Allah yang diturunkan malaikat Jibril (Ruhul Amin) kepada nabi Muhammad SAW
secara bertahap. Mereka mengetahui kebenaran isi kandungan Al-Quran dan juga
memahami hikmah dibalik proses turunnya Al-Quran secara bertahap.
Orang mukmin yang mengetahui inti isi
kandungan Al-Quran secara mendalam disebut dalam Al-quran dengan gelar “Rasikhuna
fil ‘ilm” (QS. Ali Imran [3]:7-8), (QS. An Nisa’ [4]:162). Kedalaman ilmu
itu secara akademik ditandai dengan pengenalan terhadap tema-tema pokok
Al-Quran yang terkandung pada ayat Muhkamat dan ayat Mustasyabihat.
Kata ulama dalam surat QS. Fathir
[35]:28 menunjuk pada ilmuan social dan alam yang memiliki rasa takut
(khosyiya) disertai penghormatan kepada Allah yang lahir dari pengetahuan
mereka tentang fenomena alam dan social. Mereka memahami ilmu secara luas mulai
tentang rahasia penciptaan langit dan bumi,, tumbuhan, hewan, manusia dan
seluruh sumber daya alam yang memiliki dampak ekonomi sehingga sampai kepada
pengenalan kepada Allah SWT dan pengakuan terhadap kebenaran syariatNya yang
terkandung dalam Al-Quran.
Kriteria “khasyiya” yang disematkan
pada ulama disebutkan juga dalam Al-Quran sebagi kriteria pengelola mesjid (baca QS. At-Taubah:).
Dengan demikian, ulama tidak hanya diukur dengan kriteria akademik (keilmuan)
tetapi juga diukur dengan kriteria moral, berupa integritas watak yang ditandai
dengan iman dan taqwa kepada Allah SWT, tawadhu dalam berinteraksi dengan
sesame, wara’ dan zuhud terhadap dunia serta senantiasa bermujahadah menjadikan
mesjid sebagai markaz perjuangan dalam usaha meraih ridho Allah SWT. Mereka
tidak pernah ragu untuk menyatakan kebenaran, tegas dan berani dalam menegakkan
keadilan dan supermasi hukum.
Seorang intelektual adalah seorang
ilmuan yang menaruh perhatian dengan perkembangan budaya bangsanya. Ia tidak
hanya mengajar dan meneliti ilmu untuk ilmu, melainkan untuk merekontruksi
peradaban bangsa. Dalam Al-Quran intelektual muslim diberi predikat ulul albab
adalah ilmuan muslim yang menaruh perhatian terhadap perkembangan umat islam. Dalam
konteks ini, mereka yang hanya sibuk dengan tugas dikampus sebagi pengajar,
peneliti, dan petugas administrasi, dan tidak terpanggil untuk menyebarkan dan
menanamkan nilai-nilai islam dalam dunia kampus, mereka yang tidak peka
terhadap gairah masyarakat kampus untuk menyerap nilai-nilai islam, mereka yang
memandang islam sebagai nilai konvensi sosial dan ‘elanvital dalam perubahan
sosial, tidak dapat disebut intelektual muslim.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda ulul albab, (yaitu) orang
–orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran
[3]:190-191)”.
Tanggung Jawab Memartabatkan Negara
Kunci memperoleh kebahagiaan didunia
dan akhirat adalah ilmu pengetahuan. Kekuatan dan daya saing umat ditentukan
oleh keberadaan sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) dalam mengelola sumber daya alam, terutama dalam menjaga
kedaulatan pangan (pertanian), energi (pertambangan), swasembada daging dan
susu (peternakan).
Allah SWT telah menurunkan besi
untuk manusia, sehingga dapat menciptakan teknologi yang dibutuhkan dalam
mengelola cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak. Al-Quran menerangkan dalam hal ini dalam surat Al-Hadid yang
secara harfiah berarti besi.
Ayat 25 surat Al-hadid
mengisyaratkan bahwa penguasaan terhadap makna ayat-ayat Allah yang tertulis
dalam Al-Quran dan penguasaan teknologi baja adalah prasyarat mewujudkan umat
islam sebagi wasit atau pemimpin didunia yang adil, kuat, bermartabat, dan
berwibawa dalam pergaulan global. Teknologi baja harus dikuasai oleh umat islam
untuk kepentingan sipil dan militer.
Para ulama menafsirkan bahwa kalimat
“ihi ba’sun syadid” mengisyaratkan
pentinganya peralatan dan teknologi perang , sedangkan firman Allah “ Wa
manaafi’u Linnaas” mengisyaratkan pentingnya pembuatan peralatan sipil. Negara
harus menguasai industri baja, industri dirgantara, industri pembuat kapal,
teknologi kendali, dan cabang-cabang produksi lain yang diperlukan, baik dibidang
militer maupun sipil. Dengan demikian maka sempurnalah kekuatan Negara dalam
suasana aman maupun perang.
Marilah kita renungkan. Jika Negara
tidak menguasai industri baja dan alat utama system senjata (alutsista), maka
Negara kita tidak akan memiliki kendali, kita tidak akan memiliki izzah
(wibawa), karena kekuatan asinglah yang berwenang penuh untuk menjual atau
tidak menjual kepada kita, kapan saja, dengan persyaratan yang sepenuhnya
mereka tetapkan. Tidak akan pernah ada kedaulatan yang sebenarnya bagi Negara
yang persenjataannya selalu bergantung kepada keahlian bangsa asing. Tentara
kita lumpuh karena tidak dilengkapi teknologi kendali dan persenjataan modern,
yang dibuat oleh putera puteri terbaik bangsa.
Diera informasi Negara harus kembali
mengusai perusahaan telekomunikasi dan informasi. Pada era ini, perang opini
terjadi melalui madia. Negara pada hari ini tidak dapat membendung arus
informasi yang mengalir deras, karena Negara tidak lagi mengendalikan media, TV
dan radio. Negara tidak lagi mampu menyampaikan opini, rencana kebijakan dan
hasil pembangunan melalui kata-kata yang bisa dibaca, didengar atau dilihat,
kecuali harus dengan cara membeli semua itu dari perusahaan milik swasta,
karena Negara sendiri tidak memiliki kendali terhadap percetakan, stasiun
televise dan pemancar radio atau jaringan stelit.
Al-Quran telah menggariskan dengan
jelas, bahwa umat islam harus mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
khususnya teknologi baja, sehingga kita dapat mengusai cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara dan mengusai hajat orang banyak. Industri baja dan
industri strategis lainnya harus menjadi milik public, milik Negara, dan tidak
boleh jatuh pada milik perseorangan. Hal ini juga berarti subtansi materi IPTEK
dan pengembangan inovasi harus menjadi isi kurikulum pendidikan islam, selain
Al-Quran sebagai sumber nilai.
Langkah – Langkah Menjadi Muslim yang Intelek
1.
Membangun
Strategi
Strategi
merupakan suatu cara yang disusun untuk memuluskan pihak terkait dari batu
hambatan pertarungan. Menyusun strategi tidak hanya berlaku untuk
perang ataupun sepak bola, tetapi berlaku dimana saja dalam sebuah pertarungan,
tidak terlepas dalam prosesi belajar. Dalam upaya menjadi seorang muslim yang
intelek ada beberapa langkah yang harus diperhatikan, langkah utama yang harus
ditempuh tidak hanya sebatas melalui disiplin-disiplin akademik dalam arti
perkuliahan (co-curiculer). Dalam persoaalan ini, semua pihak terkait haruslah
berpikir strategis dan dinamis untuk memadukan kedua unsure penting tersebut
dalam membentuk character building yang intelek. Ini berarti bahwa pembinaan
seseorang untuk melangkah menjadi intelektual disamping dilakukan dengan
kulyah-kulyah resmi harus pula dilakukan diluar jam-jam kulyah, seperti
bergabung dengan grup-grup diskusi dan komunitas intelek lainnya.
2.
Membangun
Pola Pikir Yang Islami
Salah satu
tolak ukur seorang intlektual adalah terletak pada akalnya, akal sangat
berperan dalam membentuk pribadi seseorang yang intelek. Akal adalah gerbang
dan dasar pembentuk karakter seseorang pribadi yang islami, Pola pikir islami
juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang
muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah
swt.
Dalam Islam,
akal diartikan sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya,
yang sebagai digambarkan dalam Al-Qur’an adalah memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikonstruksi
dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu
dari Tuhan.
Islam sangat
menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an sering kita jumpai ayat
ayat yang menganjurkan untuk berpikir, Seperti:
-
“Dan tidak ada
seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. (Q.S.Yunus:100),
-
“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memikirkan”. (Q.S.
An-Nahl: 11)
-
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari
dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”. (Q.S. An-Nahl: 12)
Dari uraian
ayat-ayat diatas, kita bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati fungsi akal.
Penghormatan Islam terhadap fungsi akal karna didasari atas beberapa hal: Pertama,
akal merupakan salah satu faktor yang menjadikan manusia dipandang sebagai
makhluk ciptaan Allah yang paling baik. Kedua, dengan akalnya,
manusia dapat mencapai peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi. Ketiga,
dengan akal pula, manusia dapat mengemban tugas sebagai khalifah dimuka bumi
ini. Keempat, Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk
menggunakan akal, termasuk dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri dan mencemooh
terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.
Oleh karna
demikian, seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah
mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, oleh sebab itu, akal dalam Islam
memiliki posisi yang istimewa, bahkan mulianya manusia disisi Allah terletak
pada akalnya. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan
berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT
bukan sebaliknya.
3.
Membangun
Kepribadian yang Islami
Menjadi
pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama
Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini
dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua
hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan, antara keimanan
dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus
tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap insan yang islami.
a.
Membangun
Motivasi Keilmuan
Menjadi seorang intelektual bukanlah perkara yang
mudah, ia tidak memada dengan menyandan gelar sarjana tapi memerlukan usaha dan
pengorbanan yang luar biasa, memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan peka
terhadap problem-problem sosial. Untuk menggenggam predikat intelektual,
seseorang harus mampu menggunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji,
menganalis serta merumuskan segala perkara dalam kehidupan masyarakat.
Untuk menjadi seorang intelektual, seseorang harus
memilik motivasi keilmuan yang tinggi, karna motivasi merupakan bahan baku dan substansi yang
diperlukan manusia dalam menempuh perjalanan hidupnya. Ia adalah kristalisasi
formula-formula visi dan misi, serta orientasi yang terpadu dan terintegrasi
secara sempurna, selanjutnya motivasi tersebut akan menjadi muatan inti dari
niat seseorang dalam melakukan dan memformat bentuk, jenis, dan dimensi
keilmuan.
Dengan dasar motivasi ini, kita harus menjadi yang
terbaik karna Islam sebagai konsep dan jalan hidup kita berada pada posisi
terluhur dalam segala dimensinya. Dan kita sebagai umat Islam harus mampu
berada pada setiap dimensi itu dengan menguasai ilmu pengetahuan sebagai
sandaran intelektualitasnya, kepercayaan dan keyakinan sebagi spiritualitasnya
dan prilaku sebagai moralitasnya.
Setiap muslim yang mukallaf pasti memiliki potensi akal, nalar, hati
nurani dan intuisi, potensi ini apabila digunakan secara efektif, yakinlah
bahwa kepribadian yang intelek akan terbantuk, hanya saja tinggal memaksimalkan
dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik yang teoritis maupun ilmu-ilmu yang
bersifat praktis. Untuk dapat
menguasai ilmu-ilmu tersebut kita harus terbuka dengan dunia pendidikan baik
formal maupun informal, terbuka dengan sejumlah informasi sepanjang kehidupan
kita, baik itu informasi aktif yang memberikan rumusan dan
kesimpulan, seperti guru, orang tua maupun teman-teman, dan kita juga harus
terbuka dengan informasi pasif yang membutuhkan rumusan dari kita sendiri
dengan bantuan informasi aktif. Informasi-informasi semacam ini sangat
dibutuhkan dalam menguasai ilmu pengetahuan serta bisa mempengaruhi pemikiran,
perasaan dan prilaku kita untuk bergabung dengan kaum intelektual.
b.
Merekonstruksi
Kembali Warisan Pemikiran Islam
Kehidupan umat islam sekarang telah dihadapkan pada
sebuah persoalan yang sangat menyedihkan, yaitu rasa bangga terhadap peradaban
luar yang tidak islam. Banyak umat islam sekarang yang terkena rayuan manis
system dan pola hidup dunia barat. Kita berbondong-bondong membeli pemikiran
hasil produk mereka dan melupakan warisan emas pemikiran produk
orang islam sendiri. Kita telah kelabakan dalam meniru setiap dimensi produk
mereka, seperti system ekonomi, pendidikan dan pola pemikiran, sehingga kita
saling menyerang sesama.
Kita telah enggan dalam memahami sejarah sendiri,
melupakan usaha susah payah ulama tempo dulu dalam hal ilmu pengetahuan
sehingga telah memberi efek yang negative, yaitu kedangkalan pemikiran islam
dikalangan umat sekarang ini. Bahkan lebih memprihatinkan lagi muncul fenomena
ketidak pecayaan terhadap warisan intelektual umat islam sebagi alternative pengayaan
dan rekonstruksi pemikiran umat kontemporer dalam usahanya untuk mengatasi
distorsi peradaban manusia dari visi dan misi terhadap konteks kehidupan
sekarang ini.
Opini-opini sebahgian umat islam produk barat telah
menggiring pola pikir generasi muda Islam untuk mengagumi intelektualitas
peradaban barat. Pemuda-pemudi Islam tidak lagi menyadari, tidak lagi membaca
sejarah bahwa peradaban intelektualitas mereka adalah hasil jiplakan dari
peradaban intelektualitas muslim yang kemudian dirumuskan dalam bentuk
kemusyrikan. Fenomena dilematis ini telah membawa sikap kekaguman umat islam
yang berlebihan terhadap khazanah intelektualitas peradaban barat (non-islam)
seraya mengucilkan khazanah peradaban intelektualitas sendiri (Islam). Akibat
dari rekayasa dan manipulasi ini telah membawa dunia pendidikan Islam kesebuah
jurang yang sangat menyedihkan yaitu, ideology umat Islam tidak sepenuhnya lagi
berkiblat kepada al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi telah berpaling kepada
filsafat barat yang sarat dengan kemusyrikan.
Dengan melihat realitas demikian, kita sebagi
mahasiswa/pemuda yang peduli dengan nilai warisan keislaman, mari kita
membangkitkan semangat intelektualitas kita dengan membangun ideology yang
tauhidi dengan berpijak kepada al-Qur’an dan Hadis. Mari kita merekonstruksi
kembali pemikiran yang islami mulai dari paradigm, epistimologi dan metodologi
sampai realisasi empirisnya dalam bentuk peradaban Islam sebagaimana yang telah
dibangun oleh para ulama kita, cendikiawan kita dan kaum intelektual kita tempo
dulu. Mudah-mudahan dengan merekonstruksi wawasan pemikiran Islam mereka, dunia
Islam akan meraih kembali kejayaan dan keemasan peradaban yang maju.
c.
Membentuk Unsur-Unsur Kepribadian Yang Intelek dan Islami
Dalam Islam, Seorang intelektual dikenal tidak
hanya aktif dalam berfikir, menguasai ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi
persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual muslim itu juga dihitung dari
segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna itu, seseorang
yang ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus mampu
memperlihatkan sikap kepribadiannya yang yang islami, aktif dan benar-benar
komit dengan keislamannya. Setidaknya ada tiga aspek yang mendukung seseorang
untuk bisa bergabung dengan kaum intelektual, yaitu komit dengan keimanannya,
aktif dalam menggunakan akalnya dan kuat tingkat amal shalehnya.
1) Iman
Iman merupakan bentuk kata lain dari tauhid dan
aqidah. Meski ketiga kata ini berbeda tapi substansinya sama, yaitu bentuk
pensucian Allah dari sifat-sifat alam atau makhluk. Aqidah merupakan iman yang
kuat kepada Allah dan apa yang diwajibkan berupa tauhid (mengesakan Allah dalam
peribadatan), yaitu berupa beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk, serta mengimani semua
cabang dari pokok-pokok keimanan ini serta hal-hal yang masuk dalam katagorinya
berupa prinsip-prinsip agama. Iman secara bahasa berasal dari kata a-mi-na
yang berarti merasa aman dan tenteram, sedangkan a-ma-na berarti meyakini, percaya,
atau beriman. Jika dilihat dari kata dasarnya, keimanan adalah sesuatu yang
memberikan keamanan dan ketenangan bagi pemiliknya. Jika keimanan tidak
memberikan nuansa tersebut maka telah terjadi distorsi, penyimpangan,
ketidakberfungsingan, bahkan mungkin kesalahan total pada objek yang
diimaninya. Ini parallel dengan sebuah Firman Allah; “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram”. (Q.S. ar-Ra’d: 28)
Iman merupakan pembentuk dasar kepribadian
seseorang muslim. Iman bukanlah produk akal manusia tetapi ia berasal dari Zat
yang mencipta seluruh alam ini yang termanvestasi dalam wahyu-Nya. Yang
membedakan seorang muslim dengan non-muslim adalah terletak pada keimanannya.
Dalam buku Ensiklopedi Islam karangan Bisri M. DJaelani disebutkan, bahwa Iman
merupakan kunci keislaman seseorang yang dalam perwujudannya disimbolkan dengan
mengucap dua kalimat syahadat, yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan melainkan
Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Iman merupakan kunci
pokok dalam membentuk keislaman seseorang. Antara iman dan Islam merupakan satu
kesatuan yang saling mengisi, iman tidak ada artinya tanpa Islam. Begitu juga
Islam, ia tidak akan berfungsi bila tidak dilandasi dengan keimanan.
Dengan demikian, berbicara tentang islam/muslim
berarti juga berbicara tentang iman, kenapa demikian? Karna islam atau seorang
muslim beranjak dari sebuah kalimat tauhid yaitu, “laa ilaha illallah” (tidak
ada Tuhan selain Allah). Begitu juga seorang intelektual muslim, ia terbina
dari kalimat tauhid, maka ia tidak bisa terlepas dari yang namanya iman.
Apabila ia ingin lepas dari iman maka ia bukan lagi seorang muslim. Oleh sebab
itulah seorang intelektual muslim harus dibangun atas dasar keimanan.
2) Akal
Akal (pemikiran) merupakan aspek kedua dalam
membentuk kepribadian seorang muslim. Ia merupakan muara bagi tiap-tiap
individu yang mukallaf. Dalam islam, akal memiliki posisi yang sangat central,
ia adalah pembentuk karakter manusia sebagai khalifah dimuka bumi, termulia
atas segala makhluk lainnya. Dengan akal pula manusia dapat berfikir secara
dinamis untuk menghasilkan suatu rumusan yang namanya pemikiran. Pemikiran
merupakan sebuah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa. Dengannya manusia dapat
mengetahui kebesaran Sang-Ilahi yang termanivestasi dialam jagat ini. Dengan
akal pula manusia dapat berkreasi, berinovasi dan berkarya secara baik, efektif
dan efesien. Dengan akal, manusia dapat membentuk karakter kepribadiaannya dan
mampu menata dunia dengan penuh peradaban mulia.
Akan tetapi kita umat Islam harus sadar bahwa,
manusia tidak akan bisa menjaga akalnya kecuali jika Islam ditegakkan.
Pengalaman telah membuktikan bahwa seluruh system hukum yang berlaku didunia
ini sebenarnya tidak mengandung suatu konsepsi yang menjamin keselamatan akal
manusia kecuali jika umat Islam menerapkan agama-agamanya.
Apabila suatu bangsa mendidik pemuda-pemudinya
untuk menggunakal akal secara efektif dan Islami, maka bangsa tersebut akan
mudah menguasai dunia, tak perlu dengan intervensi militer yang membunuh
banyak orang dan menghancurkan fasilitas sipil yang bisa berakibat fatal.
Islam yang merupakan agama wahyu (Allah), sangat
menekankan umatnya untuk menggunakan akal, ini bisa dilihat dengan
banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengimbau dengan kata-kata “apakah
kalian tidak berfikir”, “apakah kalian tidak memikirkannnya”, “apakah kalian
tidak memperhatikannya”. Bahkan dalam sebuah Hadis disebutkan “Agama
diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal, tidak ada agama bagi yang tidak
berakal”.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa islam
sangat menekankan umatnya untuk menggunakan akal dengan bijak dan efektif
sehingga dapat meninggikan derajatnya diatas para malaikat. Oleh karena itu,
tidak heran bila aspek yang central dalam membentuk karakter seorang
intelektual muslim adalah terletak pada sejauh mana ia mampu memfungsikan
akalnya.
3) Amal Shaleh
Amal shaleh secara bahasa berarti kerja yang baik,
layak, sesuai, benar, serasi dan segala sesuatu yang bernuansakan makna
kebaikan dan kemaslahatan. Pilihan kata ini amatlah tepat dan mencerminkan
kemukjizatan al-Qur’an. Amal yang shaleh merupakan bentuk ketiga yang
berpengaruh dalam membentuk kepribadian seorang intelektual. Amal shaleh juga
merupakan refleksi konkrit dimensi kedua dari Islam yaitu syariah, ia adalah
sebuah prinsip dasar metode pemikiran dalam Islam.
Amal shaleh yang dimaksud disini bukan hanya
amalan-amalan yang individual, tapi juga amal shaleh yang berhubungan dengan
sosial seperti mengajarkan orang lain, memberi solusi-solusi terhadap persoalan
masyarakat, saling menasehati dengan penuh kesabaran dan lain sebagainya.
Oleh karna itu, Islam tidak
pernah menyerukan umatnya untuk memusuhi dunia dan tidak pula
memerintahkan umatnya untuk menghabiskan waktu hanya semat-mata untuk beribadah
dan bermunajat kepada Allah SWT, tetapi Islam adalah sebuah agama yang berdiri
pada azaz keterpaduan antara dunia dan akhirat, berupaya merealisasikan
kesempurnaan keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang memasuki kehidupan
akhirat dan berupaya membahagiakan umatnya didunia dan akhirat.
Perpaduan ketiga unsur diatas, yaitu iman, akal dan amal saleh akan
menjadi sinergi bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang mulia dan agung.
Sinergi ini selanjutnya akan menjadi landasan kekuatan dalam berbagai dimensi
dan aspek kehidupan. Dimulai dengan memahami esensi keimanan dan pemikiran
Islam yang selanjutnya diaktualisasi dalam bentuk aplikasi (akhlak) baik dalam
konteks individu maupun sosial-masyarakat. Dengan demikian, membangun pribadi
yang islami dengan mengadopsi ketiga unsure diatas akan menjadikan tiap
individu sebagai intelektual yang pada akhirnya akan mampu membentuk karakter
bangsa yang maju, agung dan berperadaban.
Sumber/referensi:
Fadlullah (Editor).
2013. Pembelajaran Transformatif Pendidikan Agama Islam. Jakarta :
Hartomo Media Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar