Kamis, 29 Desember 2016

MENJADI MUSLIM YANG INTELEK


Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alami, ia sangat menekankan umatnya agar menjadi umat yang unggul dalam segala bidang sehingga bentuk kesucian dan keagungan islam termaniveastasi lewat keluhuran umatnya. Oleh karena itu tidak heran bila terdapaat banyak ayat al-Qur’an yang menyerukan kepada penggunaan akal, seperti “afala ta’qiluun, afala tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun. Bahkan ayat pertama yang diturunkan adalah iqra’ (baca). Ini menunjukkan bahwa islam sangat peduli terhadap peningkatan intelektualitas umatnya.
Oleh sebab itu, Seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, beraneka macamnya tingkah laku manusia sampai adanya aneka pemikiran dan pemahaman manusia hendaknya menjadi pemikiran seorang muslim. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bukan sebaliknya.
Seorang intelektual muslim dikenal tidak hanya aktif dalam berfikir, menguasai ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual muslim itu juga dihitung dari segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna itu, seseorang yang ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus mampu memperlihatkan sikap kepribadiannya  yang islami, aktif dalam masyarakat, kritis terhadap persoalan-persoalan umat serta benar-benar komit dengan keislamannya. Oleh karena itu mempersiapkan diri menjadi seorang intekltual sangatlah penting, terutama bagi generasi penerus peradaban umat islam.
Pengertian Intelektual
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Intelektual/in-te-lek-tu-al/inteléktual/1. cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 (yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3  totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Sedangkan menurut beberapa definisi intelektual menurut para ahli, diantaranya :
1.      Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991).
2.      Pengertian intelektual menurut Cattel (dalam Clark, 1983) adalah kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berfikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan baru.
3.      David Wechsler (dalam Saifuddin Azwar, 1996) mendefinisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.
Jadi, intelektual adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai informasi berfikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efisien dan efektif.
Intelektual Muslim
Intelek sebagai seorang terpelajar dalam Al-Quran disebut Alim atau Ulama. Kalata ‘alim menunjuk kepada individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang alam semesta, mimpi dan amtsal. Kata ulama dalam Al-Quran diulang dua kali, yakni pada surat Asy-Syu’ara [26] ayat 197 dan surat Fathir [35] ayat 28.
Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani israil mengetahuinya? (QS. Asy-Syu’ara [26]:197)
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan hamba-hambaNya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha pengampun. (QS. Fathir [35]:28)
Kata ulama pada surat Asy-Syu’ara [26]:197 menunjukkan pada ahli agama Bani Israil yang mengetahui tentang sifat Al-Quran sebagai wahyu Allah dan kebenaran sifat yang disandang Al-Quran karena sesuai dengan apa yang mereka ketahui dari kitab-kitab yang mereka terima, yakni Taurat, Injil dan Zabur. Mereka mengetahui bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan malaikat Jibril (Ruhul Amin) kepada nabi Muhammad SAW secara bertahap. Mereka mengetahui kebenaran isi kandungan Al-Quran dan juga memahami hikmah dibalik proses turunnya Al-Quran secara bertahap.
Orang mukmin yang mengetahui inti isi kandungan Al-Quran secara mendalam disebut dalam Al-quran dengan gelar “Rasikhuna fil ‘ilm” (QS. Ali Imran [3]:7-8), (QS. An Nisa’ [4]:162). Kedalaman ilmu itu secara akademik ditandai dengan pengenalan terhadap tema-tema pokok Al-Quran yang terkandung pada ayat Muhkamat dan ayat Mustasyabihat.
Kata ulama dalam surat QS. Fathir [35]:28 menunjuk pada ilmuan social dan alam yang memiliki rasa takut (khosyiya) disertai penghormatan kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan social. Mereka memahami ilmu secara luas mulai tentang rahasia penciptaan langit dan bumi,, tumbuhan, hewan, manusia dan seluruh sumber daya alam yang memiliki dampak ekonomi sehingga sampai kepada pengenalan kepada Allah SWT dan pengakuan terhadap kebenaran syariatNya yang terkandung dalam Al-Quran.
Kriteria “khasyiya” yang disematkan pada ulama disebutkan juga dalam Al-Quran sebagi kriteria   pengelola mesjid (baca QS. At-Taubah:). Dengan demikian, ulama tidak hanya diukur dengan kriteria akademik (keilmuan) tetapi juga diukur dengan kriteria moral, berupa integritas watak yang ditandai dengan iman dan taqwa kepada Allah SWT, tawadhu dalam berinteraksi dengan sesame, wara’ dan zuhud terhadap dunia serta senantiasa bermujahadah menjadikan mesjid sebagai markaz perjuangan dalam usaha meraih ridho Allah SWT. Mereka tidak pernah ragu untuk menyatakan kebenaran, tegas dan berani dalam menegakkan keadilan dan supermasi hukum.
Seorang intelektual adalah seorang ilmuan yang menaruh perhatian dengan perkembangan budaya bangsanya. Ia tidak hanya mengajar dan meneliti ilmu untuk ilmu, melainkan untuk merekontruksi peradaban bangsa. Dalam Al-Quran intelektual muslim diberi predikat ulul albab adalah ilmuan muslim yang menaruh perhatian terhadap perkembangan umat islam. Dalam konteks ini, mereka yang hanya sibuk dengan tugas dikampus sebagi pengajar, peneliti, dan petugas administrasi, dan tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai islam dalam dunia kampus, mereka yang tidak peka terhadap gairah masyarakat kampus untuk menyerap nilai-nilai islam, mereka yang memandang islam sebagai nilai konvensi sosial dan ‘elanvital dalam perubahan sosial, tidak dapat disebut intelektual muslim.
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda ulul albab, (yaitu) orang –orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran [3]:190-191)”.
Tanggung Jawab Memartabatkan Negara
Kunci memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat adalah ilmu pengetahuan. Kekuatan dan daya saing umat ditentukan oleh keberadaan sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam mengelola sumber daya alam, terutama dalam menjaga kedaulatan pangan (pertanian), energi (pertambangan), swasembada daging dan susu (peternakan).
Allah SWT telah menurunkan besi untuk manusia, sehingga dapat menciptakan teknologi yang dibutuhkan dalam mengelola cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Al-Quran menerangkan dalam hal ini dalam surat Al-Hadid yang secara harfiah berarti besi.
Ayat 25 surat Al-hadid mengisyaratkan bahwa penguasaan terhadap makna ayat-ayat Allah yang tertulis dalam Al-Quran dan penguasaan teknologi baja adalah prasyarat mewujudkan umat islam sebagi wasit atau pemimpin didunia yang adil, kuat, bermartabat, dan berwibawa dalam pergaulan global. Teknologi baja harus dikuasai oleh umat islam untuk kepentingan sipil dan militer.
Para ulama menafsirkan bahwa kalimat “ihi ba’sun  syadid” mengisyaratkan pentinganya peralatan dan teknologi perang , sedangkan firman Allah “ Wa manaafi’u Linnaas” mengisyaratkan pentingnya pembuatan peralatan sipil. Negara harus menguasai industri baja, industri dirgantara, industri pembuat kapal, teknologi kendali, dan cabang-cabang produksi lain yang diperlukan, baik dibidang militer maupun sipil. Dengan demikian maka sempurnalah kekuatan Negara dalam suasana aman maupun perang.
Marilah kita renungkan. Jika Negara tidak menguasai industri baja dan alat utama system senjata (alutsista), maka Negara kita tidak akan memiliki kendali, kita tidak akan memiliki izzah (wibawa), karena kekuatan asinglah yang berwenang penuh untuk menjual atau tidak menjual kepada kita, kapan saja, dengan persyaratan yang sepenuhnya mereka tetapkan. Tidak akan pernah ada kedaulatan yang sebenarnya bagi Negara yang persenjataannya selalu bergantung kepada keahlian bangsa asing. Tentara kita lumpuh karena tidak dilengkapi teknologi kendali dan persenjataan modern, yang dibuat oleh putera puteri terbaik bangsa.
Diera informasi Negara harus kembali mengusai perusahaan telekomunikasi dan informasi. Pada era ini, perang opini terjadi melalui madia. Negara pada hari ini tidak dapat membendung arus informasi yang mengalir deras, karena Negara tidak lagi mengendalikan media, TV dan radio. Negara tidak lagi mampu menyampaikan opini, rencana kebijakan dan hasil pembangunan melalui kata-kata yang bisa dibaca, didengar atau dilihat, kecuali harus dengan cara membeli semua itu dari perusahaan milik swasta, karena Negara sendiri tidak memiliki kendali terhadap percetakan, stasiun televise dan pemancar radio atau jaringan stelit.
Al-Quran telah menggariskan dengan jelas, bahwa umat islam harus mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi baja, sehingga kita dapat mengusai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan mengusai hajat orang banyak. Industri baja dan industri strategis lainnya harus menjadi milik public, milik Negara, dan tidak boleh jatuh pada milik perseorangan. Hal ini juga berarti subtansi materi IPTEK dan pengembangan inovasi harus menjadi isi kurikulum pendidikan islam, selain Al-Quran sebagai sumber nilai.
Langkah – Langkah Menjadi Muslim yang Intelek
1.      Membangun Strategi
Strategi merupakan suatu cara yang disusun untuk memuluskan pihak terkait dari batu hambatan pertarungan.  Menyusun strategi tidak hanya berlaku untuk perang ataupun sepak bola, tetapi berlaku dimana saja dalam sebuah pertarungan, tidak terlepas dalam prosesi belajar. Dalam upaya menjadi seorang muslim yang intelek ada beberapa langkah yang harus diperhatikan, langkah utama yang harus ditempuh tidak hanya sebatas melalui disiplin-disiplin akademik dalam arti perkuliahan (co-curiculer). Dalam persoaalan ini, semua pihak terkait haruslah berpikir strategis dan dinamis untuk memadukan kedua unsure penting tersebut dalam membentuk character building yang intelek. Ini berarti bahwa pembinaan seseorang untuk melangkah menjadi intelektual disamping dilakukan dengan kulyah-kulyah resmi harus pula dilakukan diluar jam-jam kulyah, seperti bergabung dengan grup-grup diskusi dan komunitas intelek lainnya.
2.      Membangun Pola Pikir Yang Islami
Salah satu tolak ukur seorang intlektual adalah terletak pada akalnya, akal sangat berperan dalam membentuk pribadi seseorang yang intelek. Akal adalah gerbang dan dasar pembentuk karakter seseorang pribadi yang islami, Pola pikir islami juga harus dibangun dalam diri seorang muslim. Semua alur berpikir seorang muslim harus mengarah dan bersumber pada satu sumber yaitu kebenaran dari Allah swt.
Dalam Islam, akal diartikan sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang sebagai digambarkan dalam Al-Qur’an adalah memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikonstruksi dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.
Islam sangat menghargai kerja pikir ummatnya. Di dalam al-Qur’an sering kita jumpai ayat ayat yang menganjurkan untuk berpikir, Seperti:
-          “Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. (Q.S.Yunus:100),
-           “Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. An-Nahl: 11)
-           “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”. (Q.S. An-Nahl: 12)
Dari uraian ayat-ayat diatas, kita bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati fungsi akal. Penghormatan Islam terhadap fungsi akal karna didasari atas beberapa hal: Pertama, akal merupakan salah satu faktor yang menjadikan manusia dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling baik. Kedua, dengan akalnya, manusia dapat mencapai peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi. Ketiga, dengan akal pula, manusia dapat mengemban tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini. Keempat, Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, termasuk dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri dan mencemooh terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.
Oleh karna demikian, seorang muslim harus senantiasa menggunakan daya pikirnya. Allah mewujudkan fenomena alam untuk dipikirkan, oleh sebab itu, akal dalam Islam memiliki posisi yang istimewa, bahkan mulianya manusia disisi Allah terletak pada akalnya. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa tujuan berpikir tidak lain adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bukan sebaliknya.
3.      Membangun Kepribadian yang Islami
Menjadi pribadi yang Islami merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam agama Islam. Hal ini karena Islam itu tidak hanya ajaran normatif yang hanya diyakini dan dipahami tanpa diwujudkan dalam kehidupan nyata, tapi Islam memadukan dua hal antara keyakinan dan aplikasi, antara norma dan perbuatan, antara keimanan dan amal saleh. Oleh sebab itulah ajaran yang diyakini dalam Islam harus tercermin dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan sikap insan yang islami.
a.       Membangun Motivasi Keilmuan
Menjadi seorang intelektual bukanlah perkara yang mudah, ia tidak memada dengan menyandan gelar sarjana tapi memerlukan usaha dan pengorbanan yang luar biasa, memiliki semangat keilmuan yang tinggi dan peka terhadap problem-problem sosial. Untuk menggenggam predikat intelektual, seseorang harus mampu menggunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji, menganalis serta merumuskan segala perkara dalam kehidupan masyarakat.
Untuk menjadi seorang intelektual, seseorang harus memilik motivasi keilmuan yang tinggi, karna motivasi merupakan bahan baku dan substansi  yang diperlukan manusia dalam menempuh perjalanan hidupnya. Ia adalah kristalisasi formula-formula visi dan misi, serta orientasi yang terpadu dan terintegrasi secara sempurna, selanjutnya motivasi tersebut akan menjadi muatan inti dari niat seseorang dalam melakukan dan memformat bentuk, jenis, dan dimensi keilmuan.
Dengan dasar motivasi ini, kita harus menjadi yang terbaik karna Islam sebagai konsep dan jalan hidup kita berada pada posisi terluhur dalam segala dimensinya. Dan kita sebagai umat Islam harus mampu berada pada setiap dimensi itu dengan menguasai ilmu pengetahuan sebagai sandaran intelektualitasnya, kepercayaan dan keyakinan sebagi spiritualitasnya dan prilaku sebagai moralitasnya.
Setiap muslim yang mukallaf pasti memiliki potensi akal, nalar, hati nurani dan intuisi, potensi ini apabila digunakan secara efektif, yakinlah bahwa kepribadian yang intelek akan terbantuk, hanya saja tinggal memaksimalkan dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik yang teoritis maupun ilmu-ilmu yang bersifat praktis. Untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut kita harus terbuka dengan dunia pendidikan baik formal maupun informal, terbuka dengan sejumlah informasi sepanjang kehidupan kita, baik itu informasi aktif  yang memberikan rumusan dan kesimpulan, seperti guru, orang tua maupun teman-teman, dan kita juga harus terbuka dengan informasi pasif yang membutuhkan rumusan dari kita sendiri dengan bantuan informasi aktif. Informasi-informasi semacam ini sangat dibutuhkan dalam menguasai ilmu pengetahuan serta bisa mempengaruhi pemikiran, perasaan dan prilaku kita untuk bergabung dengan kaum intelektual.
b.      Merekonstruksi Kembali Warisan Pemikiran Islam
Kehidupan umat islam sekarang telah dihadapkan pada sebuah persoalan yang sangat menyedihkan, yaitu rasa bangga terhadap peradaban luar yang tidak islam. Banyak umat islam sekarang yang terkena rayuan manis system dan pola hidup dunia barat. Kita berbondong-bondong membeli pemikiran hasil produk mereka dan melupakan warisan emas  pemikiran produk orang islam sendiri. Kita telah kelabakan dalam meniru setiap dimensi produk mereka, seperti system ekonomi, pendidikan dan pola pemikiran, sehingga kita saling menyerang sesama.
Kita telah enggan dalam memahami sejarah sendiri, melupakan usaha susah payah ulama tempo dulu dalam hal ilmu pengetahuan sehingga telah memberi efek yang negative, yaitu kedangkalan pemikiran islam dikalangan umat sekarang ini. Bahkan lebih memprihatinkan lagi muncul fenomena ketidak pecayaan terhadap warisan intelektual umat islam sebagi alternative pengayaan dan rekonstruksi pemikiran umat kontemporer dalam usahanya untuk mengatasi distorsi peradaban manusia dari visi dan misi terhadap konteks kehidupan sekarang ini.
Opini-opini sebahgian umat islam produk barat telah menggiring pola pikir generasi muda Islam untuk mengagumi intelektualitas peradaban barat. Pemuda-pemudi Islam tidak lagi menyadari, tidak lagi membaca sejarah bahwa peradaban intelektualitas mereka adalah hasil jiplakan dari peradaban intelektualitas muslim yang kemudian dirumuskan dalam bentuk kemusyrikan. Fenomena dilematis ini telah membawa sikap kekaguman umat islam yang berlebihan terhadap khazanah intelektualitas peradaban barat (non-islam) seraya mengucilkan khazanah peradaban intelektualitas sendiri (Islam). Akibat dari rekayasa dan manipulasi ini telah membawa dunia pendidikan Islam kesebuah jurang yang sangat menyedihkan yaitu, ideology umat Islam tidak sepenuhnya lagi berkiblat kepada al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi telah berpaling kepada filsafat barat yang sarat dengan kemusyrikan.
Dengan melihat realitas demikian, kita sebagi mahasiswa/pemuda yang peduli dengan nilai warisan keislaman, mari kita membangkitkan semangat intelektualitas kita dengan membangun ideology yang tauhidi dengan berpijak kepada al-Qur’an dan Hadis. Mari kita merekonstruksi kembali pemikiran yang islami mulai dari paradigm, epistimologi dan metodologi sampai realisasi empirisnya dalam bentuk peradaban Islam sebagaimana yang telah dibangun oleh para ulama kita, cendikiawan kita dan kaum intelektual kita tempo dulu. Mudah-mudahan dengan merekonstruksi wawasan pemikiran Islam mereka, dunia Islam akan meraih kembali kejayaan dan keemasan peradaban yang maju.
c.        Membentuk Unsur-Unsur Kepribadian Yang Intelek dan Islami 
Dalam Islam, Seorang intelektual dikenal tidak hanya aktif dalam berfikir, menguasai ilmu pengetahuan, kritis dalam menanggapi persoalan sosial, akan tetapi seorang intelektual muslim itu juga dihitung dari segi keimanannya dan tingkat amal shalehnya. Maka oleh karna itu, seseorang yang ingin mempersiapkan diri untuk menjadi seorang intelektual harus mampu memperlihatkan sikap kepribadiannya yang yang islami, aktif dan benar-benar komit dengan keislamannya. Setidaknya ada tiga aspek yang mendukung seseorang untuk bisa bergabung dengan kaum intelektual, yaitu komit dengan keimanannya, aktif dalam menggunakan akalnya dan kuat tingkat amal shalehnya.
1)      Iman
Iman merupakan bentuk kata lain dari tauhid dan aqidah. Meski ketiga kata ini berbeda tapi substansinya sama, yaitu bentuk pensucian Allah dari sifat-sifat alam atau makhluk. Aqidah merupakan iman yang kuat kepada Allah dan apa yang diwajibkan berupa tauhid (mengesakan Allah dalam peribadatan), yaitu berupa beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk, serta mengimani semua cabang dari pokok-pokok keimanan ini serta hal-hal yang masuk dalam katagorinya berupa prinsip-prinsip agama. Iman secara bahasa berasal dari kata a-mi-na yang berarti merasa aman dan tenteram, sedangkan a-ma-na berarti meyakini, percaya, atau beriman. Jika dilihat dari kata dasarnya, keimanan adalah sesuatu yang memberikan keamanan dan ketenangan bagi pemiliknya. Jika keimanan tidak memberikan nuansa tersebut maka telah terjadi distorsi, penyimpangan, ketidakberfungsingan, bahkan mungkin kesalahan total pada objek yang diimaninya. Ini parallel dengan sebuah Firman Allah;  “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”. (Q.S. ar-Ra’d: 28) 
Iman merupakan pembentuk dasar kepribadian seseorang muslim. Iman bukanlah produk akal manusia tetapi ia berasal dari Zat yang mencipta seluruh alam ini yang termanvestasi dalam wahyu-Nya. Yang membedakan seorang muslim dengan non-muslim adalah terletak pada keimanannya. Dalam buku Ensiklopedi Islam karangan Bisri M. DJaelani disebutkan, bahwa Iman merupakan kunci keislaman seseorang yang dalam perwujudannya disimbolkan dengan mengucap dua kalimat syahadat, yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Iman merupakan kunci pokok dalam membentuk keislaman seseorang. Antara iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang saling mengisi, iman tidak ada artinya tanpa Islam. Begitu juga Islam, ia tidak akan berfungsi bila tidak dilandasi dengan keimanan.
Dengan demikian, berbicara tentang islam/muslim berarti juga berbicara tentang iman, kenapa demikian? Karna islam atau seorang muslim beranjak dari sebuah kalimat tauhid yaitu, “laa ilaha illallah” (tidak ada Tuhan selain Allah). Begitu juga seorang intelektual muslim, ia terbina dari kalimat tauhid, maka ia tidak bisa terlepas dari yang namanya iman. Apabila ia ingin lepas dari iman maka ia bukan lagi seorang muslim. Oleh sebab itulah seorang intelektual muslim harus dibangun atas dasar keimanan.
2)      Akal
Akal (pemikiran) merupakan aspek kedua dalam membentuk kepribadian seorang muslim. Ia merupakan muara bagi tiap-tiap individu yang mukallaf. Dalam islam, akal memiliki posisi yang sangat central, ia adalah pembentuk karakter manusia sebagai khalifah dimuka bumi, termulia atas segala makhluk lainnya. Dengan akal pula manusia dapat berfikir secara dinamis untuk menghasilkan suatu rumusan yang namanya pemikiran. Pemikiran merupakan sebuah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa. Dengannya manusia dapat mengetahui kebesaran Sang-Ilahi yang termanivestasi dialam jagat ini. Dengan akal pula manusia dapat berkreasi, berinovasi dan berkarya secara baik, efektif dan efesien. Dengan akal, manusia dapat membentuk karakter kepribadiaannya dan mampu menata dunia dengan penuh peradaban mulia.
Akan tetapi kita umat Islam harus sadar bahwa, manusia tidak akan bisa menjaga akalnya kecuali jika Islam ditegakkan. Pengalaman telah membuktikan bahwa seluruh system hukum yang berlaku didunia ini sebenarnya tidak mengandung suatu konsepsi yang menjamin keselamatan akal manusia kecuali jika umat Islam menerapkan agama-agamanya.
Apabila suatu bangsa mendidik pemuda-pemudinya untuk menggunakal akal secara efektif dan Islami, maka bangsa tersebut akan mudah menguasai dunia, tak perlu dengan intervensi militer yang membunuh banyak orang dan menghancurkan fasilitas sipil yang bisa berakibat fatal.
Islam yang merupakan agama wahyu (Allah), sangat menekankan umatnya untuk menggunakan akal,  ini bisa dilihat dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengimbau dengan kata-kata “apakah kalian tidak berfikir”, “apakah kalian tidak memikirkannnya”, “apakah kalian tidak memperhatikannya”.  Bahkan dalam sebuah Hadis disebutkan “Agama diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal”.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa islam sangat menekankan umatnya untuk menggunakan akal dengan bijak dan efektif sehingga dapat meninggikan derajatnya diatas para malaikat. Oleh karena itu, tidak heran bila aspek yang central dalam membentuk karakter seorang intelektual muslim adalah terletak pada sejauh mana ia mampu memfungsikan akalnya.
3)      Amal Shaleh
Amal shaleh secara bahasa berarti kerja yang baik, layak, sesuai, benar, serasi dan segala sesuatu yang bernuansakan makna kebaikan dan kemaslahatan. Pilihan kata ini amatlah tepat dan mencerminkan kemukjizatan al-Qur’an. Amal yang shaleh merupakan bentuk ketiga yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian seorang intelektual. Amal shaleh juga merupakan refleksi konkrit dimensi kedua dari Islam yaitu syariah, ia adalah sebuah prinsip dasar metode pemikiran dalam Islam.
Amal shaleh yang dimaksud disini bukan hanya amalan-amalan yang individual, tapi juga amal shaleh yang berhubungan dengan sosial seperti mengajarkan orang lain, memberi solusi-solusi terhadap persoalan masyarakat, saling menasehati dengan penuh kesabaran dan lain sebagainya.
Oleh karna itu, Islam tidak pernah  menyerukan umatnya untuk memusuhi dunia dan tidak pula memerintahkan umatnya untuk menghabiskan waktu hanya semat-mata untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT, tetapi Islam adalah sebuah agama yang berdiri pada azaz keterpaduan antara dunia dan akhirat, berupaya merealisasikan kesempurnaan keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang memasuki kehidupan akhirat dan berupaya membahagiakan umatnya didunia dan akhirat.
Perpaduan ketiga unsur diatas, yaitu iman, akal dan amal saleh akan menjadi sinergi bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang mulia dan agung. Sinergi ini selanjutnya akan menjadi landasan kekuatan dalam berbagai dimensi dan aspek kehidupan. Dimulai dengan memahami esensi keimanan dan pemikiran Islam yang selanjutnya diaktualisasi dalam bentuk aplikasi (akhlak) baik dalam konteks individu maupun sosial-masyarakat. Dengan demikian, membangun pribadi yang islami dengan mengadopsi ketiga unsure diatas akan menjadikan tiap individu sebagai intelektual yang pada akhirnya akan mampu membentuk karakter bangsa yang maju, agung dan berperadaban. 
Sumber/referensi:

Fadlullah (Editor). 2013. Pembelajaran Transformatif Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Hartomo Media Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar