Sabtu, 10 Desember 2016

ESENSI RESEPSI PERNIKAHAN, BAGAIMANA PANDANGAN ISLAM MENGENAI HAL TERSEBUT?

Setiap manusia pasti memiliki impian mengenai pernikahannya, salah satunya mengenai resepsinya. Sudah dapat dipastikan setiap orang ingin merayakan hari bahagianya dengan sempurna. Apalagi bagi setiap wanita, mereka selalu membayangkan hal-hal yang harus ada pada acara pernikahannya, entah itu seperti putri raja, atau bahkan seperti tokoh kartun idolanya.
Sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat bahwa memberlangsungkan pesta pernikahan adalah salah satu ajaran Islam.  Bahkan untuk di Indonesia, pesta pernikahan tidak hanya sekedar sebuah ajaran adiluhung agama, tetapi sudah menjadi kearifan lokal trans nasional yang sudah turun-temurun diwariskan secara massif dan sudah mengakar kuat. Realitas ini menunjukkan bahwa budaya lokal telah ikut ambil bagian dalam menyuseskan momentum ini.
Berjuta suku, ras, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia serta ditopang oleh luas wilayah yang tebentang dari sabang sampai merauke, telah membuka kran kemajemukan model pesta pernikahan. Di satu sisi, ini merupakan  daya tarik tersendiri bagi anak negeri.  Di sisi yang lain, kemajukan bentuk hajatan pernikahan ini juga menyisakan banyak persoalan yang kompleks. Krisis moral telah menyulap pesta yang agung ini kehilangan esensinya. Kode etik serta norma agama yang seharusnya menjadi pedoman hidup di dalam segala lini kehidupan lenyap dimakan zaman. Pesta pernikahan yang seharusnya sebagai ajang untuk mendulang barokah kini ternodai lantaran perayaannya penuh dengan praktik kemaksiatan.
Menikah merupakan salah satu sunnah Rasul yang dapat menyempurnakan agama. Seorang muslim apabila telah baligh dan mampu untik menikah, maka disarankan untuk segera menikah.
Lalu, bagaimana dengan resepsi pernikahan, atau pesta yang biasanya diadakan setelah akad nikah? Apakah Islam juga menyarankan untuk mengadakan resepsi?
Pernikahan sejatinya dilakukan untuk menghindari fitnah. Sedangkan resepsi atau mengundang kerabat dan saudara juga dilakukan untuk memberi kabar gembira tersebut pada kerabat dan keluarga. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa acara resepsi ada hubungannya dengan tujuan menikah dalam Islam, yaitu mengabarkan pada kerabat dan keluarga.
Lalu, bagaimana dengan besarnya biaya resepsi yang seringkali membuat orang menunda pernikahan?
Dalam kasus seperti ini, sebaiknya kita kembali pada esensi utama mengadakan resepsi, yaitu memberi kabar gembira pada keluarga dan kerabat tentang pernikahan kita. Satu hal yang wajib dalam mengadakan resepsi adalah jamuan para tamu. Islam tidak menyarankan untuk emngadakan pesta besar-besaran, tapi hanya jamuan untuk para tamu yang kita undang.
Rasulullah SAW melihat hiasan kekuning-kuningan di tubuh Abdurahman bin Auf, lalu bertanya, Apa ini? Ia menjawab, “aku telah menikah dengan seorang wanita dengan mahar sebiji emas.” Rasulullah SAW bersabda, “mudah-mudahan Allah memberkatimu. Buatlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing.” (H.R.Jama’ah)
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Salam juga menyarankan kita untuk menyamaratakan semua keluarga dan kerabat yang kita undang. Sebaiknya kita tidak membedakan setiap undangan, apalagi sampai hanya mengundang kalangan tertentu saja yang diundang.
“Seburuk-buruknya makanan walimah, dimana yang diundang hanya orang kaya sementara untuk orang miskin dilarang.”
Selain itu, bagi mereka yang menerima undangan, Rasulullah juga mengharuskan untuk memenuhi undangan tersebut.
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Muslim)
Dalam termonologi fiqh, pesta pernikahan disebut dengan istilah walimah al-urs. Secara khusus, istilah walimah al-urs bermakna hidangan makanan ketika perkawinan atau setiap sajian menu makanan yang disuguhkan untuk para tamu undangan dan lainnya[i]. Kata walimah al-urs semakna dengan azZifāf yang bermakna pesta pernikahan.  Sebab suguhan menu makanan saat itu sangat identik dengan pesta pernikahan.
Menurut kalangan Syafi’iyah, walimah dilakukan  ketika adanya kegembiraan; seperti nikah, khitan, kelahiran dan lainnya. Hanya saja kalau kata walimah diucapkan secara mutlak, maka mengarah pada walimah nikah atau lebih dikenal dengan walimahh urs. Sementara untuk walimah-walimah yang lain, memiliki istilah-istilah tersendiri. Walimah khitan disebut ‘a’dzar’, untuk kelahiran  anak disebut ‘aqiqah’, walimah ketika perempuan telah melahirkan disebut ‘khars’, sedangkan ‘naqi’ah’ merupakan istilah walimah untuk orang yang baru datang dari bepergian, walimah untuk membuat bangunan disebut ‘wakirah’, yang diadakan karena musibah ‘wadhimah’. Sementara walimah yang dilakukan tanpa sebab disebut ‘makdubah.
Hukum mengadakan walimah al-‘urs  menurut mayoritas ulama adalah  sunnah muakkad.  Kesunnahan ini disarikan dari beberapa hadits Nabi Muhammad r yang berisi anjuran pada setiap muslim untuk mengadakan walimah. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika Rasulallah r bertemu dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau mencium bau harum dari tubuh Abdurrahman. Lalu Beliau bertanya, “Ada apa kok kamu harum sekali hari ini?” “Saya baru saja menikah dengan maskawin emas seberat biji kurma” Jawab Abdurrahman. Rasulallah r kemudian bersabda :
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاة بَاركَ الله لَكَ
Semoga Allah I memberkatimu.  Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum walimah adalah sunnah, sebab amr (perintah) dalam hadist ini menghendaki nadb (sunnah) bukanwujub. Alasannya, karena ada qarinah (tanda) yang memalingkannya dari maknawujub ke makna nadb, yaitu bahwa walimah hanya terkait dengan timbulnya kebahagiaan, bukan kebutuhan yang bersifat primer (daruriyah). Sehingga perintah yang ada dalam hadits tersebut termasuk perintah yang tidak tegas. Namun ada juga ulama yang mengatakan bahwa walimah adalah wajib dengan melihat zahirnya amr, yang mana pada dasarnya setiap amr menunjuk pada makna wujub (al-amru lil wujub)[iii].
Waktu pelaksanaan walimah bisa dilakukan ketika akad atau setelah akad dengan batas waktu yang tidak tertentu sesuai dengan adat istiadat di setiap daerah. Sedangkan hukum menghadiri (ijabāh) walimah adalah wajib. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
مَنْ دَعَي إِلَى وَلِيْمَةٍ فَلَمْ يَأْتِهَا فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
Barang siapa diundang ke walimah (selamatan) kemudian dia tidak menghadirinya, maka dia telah maksiat kepada Allah I dan Rasul-Nya. (HR. Imam Muslim)
Ada banyak hikmah disyari’atkannya walimah. Di antaranya: Sebagai sarana untuk menampakkan pernikahan pada orang banyak sehingga tidak terjadi fitnah di antara kedua mempelai, menyambung tali silaturrahmi antar keluarga maupun dengan yang lain, sebagai wahana untuk berderma pada para fuqara dan masakin, sebagai wahana untuk mensyukuri segala nikmat dan karunia-Nya. Selain itu, walimah juga sebagai ajang untuk menggerakkan hati para pemuda-pemudi—yang sudah dianggap pantas untuk menikah—agar segara memberlangsungkan akad nikah yang serupa.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan peristiwa bersejarah dalam hidup seseorang. Bagi para pengantin baru, pernikahan adalah awal kisah untuk merajut cinta kasih dan membuka gerbang hidup baru guna membentuk generasi penerus. Maka tidak mengherankan ketika pernikahan disambut dengan penuh kebahagiaan, terutama oleh kedua mempelai.
Untuk memberikan kesan mendalam di sepanjang hidup, dirasa perlu menyelenggarakan pesta untuk merayakan pernikahan. Walaupun demikian adanya, bukan berarti pesta pernikahan diselenggarakan secara bebas tanpa ada batasan. Sehingga pesta yang seharusnya membawa berkah malah membawa petaka disebabkan pelaksanaannya yang jauh dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh shahibul hajah agar pesta yang dilaksanakan tidak kehilangan esensinya atau tidak melampaui batas-batas syari’at. Pertama, pelaksanaan walimah tidak perlu berhari-hari. “Kalau bisa dilaksanakan secara singkat dan hemat, kenapa harus lama-lama dan boros”. Dalam sebuah hadits disebutkan:
الْوَلِيمَةُ أَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ
”Walimah hari pertama adalah benar, hari kedua ma’ruf, dan hari ketika riya’ dan sum’ah” (HR. Imam Turmudzi)
Hadits nabi ini ingin mengungkapkan kenyataan di masyarakat bahwa  pelaksanaan walimah yang berhari-hari pasti didasarkan pada riya’ dan sum’ah, sehingga perlu dihindari. Kekayaan yang berlimpah ruah dan tingginya status sosial di masyarakat bukanlah alasan untuk melakukan pesta pernikahan secara mewah dan berhari-hari. Di samping itu, perayaan berhari-hari hanya akan menimbulkan israf karena makin banyak biaya yang akan dihabiskan. Padahal para ulama mewanti-wanti agar jangan terlalu berlebihan karena hanya akan menimbulkan mubāhah (bangga diri) dan isrāf(berlebihan) yang secara jelas dilarang dalam Islam[iv].
Kedua, Undangan harus merata pada semua keluarga, tetangga, masyarakat sekitar, teman dan kerabat kerja serta kaya maupun miskin. Makanya tidak boleh hanya mengundang orang kaya dalam resepsi pernikahan, sementara orang miskin tidak diundang. Rasulallah r bersabda :
بِئْسَ الطّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إلَيهِ الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ
Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang di sana orang kaya diundang, dan orang miskin tidak[v]” (HR. Imam Muslim)
Berdasarkan hadits ini, para ulama menegaskan bahwa seseorang tidak wajib untuk menghadiri walimah, jika yang diundang hanya orang kaya saja.
Ketiga, walimah tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk pamer kacantikan, perhiasan, dan keindahan (tabarruj) di hadapan halayak umum. Allah I berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّة
“Dan janganlah kalian memamerkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh orang perempuan-perempuan jahiliyah” (QS. al-Ahzab [33] :33)
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini dengan, ”janganlah kalian menampakkan perhiasan dan keindahan kalian kepada laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan-perempuan pada masa jahiliyah, sebelum Islam datang”[vi]
Dalam ayat yang lain, Allah I berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya kecuali yang biasa nampak daripadanya” (QS. an-Nur [24] : 31)
Yang dimaksud dengan kalimat “yang biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan anggota tubuh yang tidak bisa dihindari oleh perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain keduanya tidak boleh untuk ditampakkan. Larangan ayat ini bersifat umum, mencakup siapapun orangnya, dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun tidak boleh untuk menampakkan aurat selain wajah dan kedua telapak tangan.  Hal ini sejalan dengan kaidah ushul yang berbunyi :
وَعُمُوْمُ الأَشْخَاصِ يَسْتَلْزِمُ عُمُوْمَ الأَحْوَالِ وَالأَزْمِنَةِ وَالْبِقَاعِ
Keumuman beberapa orang berkonsekwensi terhadap keumuman kondisi, waktu, dan tempat
Berdasarkan kedua ayat  di atas, memajang pengantin pada saat pesta pernikahan tidak bisa dibenarkan. Sama halnya dengan mengarak pengantin mengelilingi desa seraya menampakkan aurat dan kecantikan yang disaksikan jutaan pasang mata.
sumber/referensi
Drs. H. Imron Abu Amar (1983). Terj. Fat-hul Qarib. Menara Kudus.
Drs. H. Ibnu Mas'ud; Drs. H. Zainal Abidin S, Drs.Maman Abd. Djaliel (2000). Fiqih Mazhab Syafi'i. CV.Pustaka Setia.
Dib Al-Bugha, Dr. Mustafa (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i. Noura Books.


1 komentar:

  1. Hallo, aku mau sharing tentang pernikahan aku di gedung HIS GRAHA ELNUSA di TB Simatupang yang sudah full karpet harganya jauh lebih murah looh untuk gedung di daerah Jak-Sel, parkirannya juga luaaaass bangett, udah gitu gak perlu ribet cari2 vendor lg karena disitu sistemnya udah ALL IN PACKAGE dan sudah ada WEDDING PLANNERnya lho.. 

    Kemarin acara aku di arrange sama Wedding Public Relation & Wedding Planner yang kooperatif bgt.. Alhamdulillah acara berjalan lancar dengan budget aku yg tidak terlalu mahal dan masuk akal..

    Silahkan langsung kontak Wedding PR yang handle aku 085887972972 mba INES namanya dia udh berpengalaman dalam hal wedding biasanya juga dia suka kasih bonus banyaakk.. hihihi

    BalasHapus