Setiap manusia pasti memiliki impian mengenai
pernikahannya, salah satunya mengenai resepsinya. Sudah dapat dipastikan setiap
orang ingin merayakan hari bahagianya dengan sempurna. Apalagi bagi setiap
wanita, mereka selalu membayangkan hal-hal yang harus ada pada acara
pernikahannya, entah itu seperti putri raja, atau bahkan seperti tokoh kartun
idolanya.
Sudah menjadi hal
yang lumrah di masyarakat bahwa memberlangsungkan pesta pernikahan adalah salah
satu ajaran Islam. Bahkan untuk di Indonesia, pesta pernikahan tidak
hanya sekedar sebuah ajaran adiluhung agama, tetapi sudah menjadi kearifan
lokal trans nasional yang sudah turun-temurun diwariskan secara massif dan sudah
mengakar kuat. Realitas ini menunjukkan bahwa budaya lokal telah ikut ambil
bagian dalam menyuseskan momentum ini.
Berjuta suku, ras,
dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia serta ditopang oleh luas wilayah yang
tebentang dari sabang sampai merauke, telah membuka kran kemajemukan model
pesta pernikahan. Di satu sisi, ini merupakan daya tarik tersendiri bagi
anak negeri. Di sisi yang lain, kemajukan bentuk hajatan pernikahan ini
juga menyisakan banyak persoalan yang kompleks. Krisis moral telah menyulap pesta
yang agung ini kehilangan esensinya. Kode etik serta norma agama yang
seharusnya menjadi pedoman hidup di dalam segala lini kehidupan lenyap dimakan
zaman. Pesta pernikahan yang seharusnya sebagai ajang untuk mendulang barokah
kini ternodai lantaran perayaannya penuh dengan praktik kemaksiatan.
Menikah merupakan salah satu sunnah Rasul yang dapat
menyempurnakan agama. Seorang muslim apabila telah baligh dan mampu untik
menikah, maka disarankan untuk segera menikah.
Lalu,
bagaimana dengan resepsi pernikahan, atau pesta yang biasanya diadakan setelah
akad nikah? Apakah Islam juga menyarankan untuk mengadakan resepsi?
Pernikahan sejatinya dilakukan untuk menghindari
fitnah. Sedangkan resepsi atau mengundang kerabat dan saudara juga dilakukan
untuk memberi kabar gembira tersebut pada kerabat dan keluarga. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa acara resepsi ada hubungannya dengan tujuan menikah dalam
Islam, yaitu mengabarkan pada kerabat dan keluarga.
Lalu, bagaimana dengan besarnya biaya resepsi yang
seringkali membuat orang menunda pernikahan?
Dalam kasus seperti ini, sebaiknya kita kembali pada
esensi utama mengadakan resepsi, yaitu memberi kabar gembira pada keluarga dan
kerabat tentang pernikahan kita. Satu hal yang wajib dalam mengadakan resepsi
adalah jamuan para tamu. Islam tidak menyarankan untuk emngadakan pesta
besar-besaran, tapi hanya jamuan untuk para tamu yang kita undang.
Rasulullah SAW melihat hiasan kekuning-kuningan di
tubuh Abdurahman bin Auf, lalu bertanya, Apa ini? Ia menjawab, “aku telah menikah
dengan seorang wanita dengan mahar sebiji emas.” Rasulullah
SAW bersabda, “mudah-mudahan Allah memberkatimu. Buatlah walimah meskipun hanya
dengan seekor kambing.” (H.R.Jama’ah)
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Salam juga menyarankan
kita untuk menyamaratakan semua keluarga dan kerabat yang kita undang.
Sebaiknya kita tidak membedakan setiap undangan, apalagi sampai hanya
mengundang kalangan tertentu saja yang diundang.
“Seburuk-buruknya makanan walimah, dimana yang
diundang hanya orang kaya sementara untuk orang miskin dilarang.”
Selain itu, bagi mereka yang menerima undangan,
Rasulullah juga mengharuskan untuk memenuhi undangan tersebut.
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka telah
berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Muslim)
Dalam
termonologi fiqh, pesta pernikahan disebut dengan istilah walimah al-urs.
Secara khusus, istilah walimah al-urs bermakna hidangan
makanan ketika perkawinan atau setiap sajian menu makanan yang disuguhkan untuk
para tamu undangan dan lainnya[i]. Kata walimah al-urs semakna dengan az–Zifāf yang
bermakna pesta pernikahan. Sebab suguhan menu makanan saat itu sangat
identik dengan pesta pernikahan.
Menurut
kalangan Syafi’iyah, walimah dilakukan ketika adanya kegembiraan; seperti
nikah, khitan, kelahiran dan lainnya. Hanya saja kalau kata walimah diucapkan
secara mutlak, maka mengarah pada walimah nikah atau lebih dikenal dengan walimahh
urs. Sementara untuk walimah-walimah yang lain, memiliki istilah-istilah
tersendiri. Walimah khitan disebut ‘a’dzar’, untuk kelahiran anak
disebut ‘aqiqah’, walimah ketika perempuan telah melahirkan disebut ‘khars’,
sedangkan ‘naqi’ah’ merupakan istilah walimah untuk orang yang baru
datang dari bepergian, walimah untuk membuat bangunan disebut ‘wakirah’,
yang diadakan karena musibah ‘wadhimah’. Sementara walimah yang
dilakukan tanpa sebab disebut ‘makdubah’.
Hukum
mengadakan walimah al-‘urs menurut mayoritas ulama
adalah sunnah muakkad. Kesunnahan ini disarikan dari beberapa
hadits Nabi Muhammad r yang berisi anjuran pada setiap muslim untuk mengadakan
walimah. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa suatu ketika Rasulallah r
bertemu dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau mencium bau harum dari tubuh
Abdurrahman. Lalu Beliau bertanya, “Ada apa kok kamu harum sekali hari ini?”
“Saya baru saja menikah dengan maskawin emas seberat biji kurma” Jawab
Abdurrahman. Rasulallah r kemudian bersabda :
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاة بَاركَ الله
لَكَ
“Semoga Allah I memberkatimu. Adakanlah
walimah walau hanya dengan seekor kambing”
Berdasarkan hadits ini, mayoritas
ulama mengatakan bahwa hukum walimah adalah sunnah, sebab amr (perintah)
dalam hadist ini menghendaki nadb (sunnah) bukanwujub.
Alasannya, karena ada qarinah (tanda) yang memalingkannya dari
maknawujub ke makna nadb, yaitu bahwa
walimah hanya terkait dengan timbulnya kebahagiaan, bukan kebutuhan yang
bersifat primer (daruriyah). Sehingga perintah yang ada dalam hadits
tersebut termasuk perintah yang tidak tegas. Namun ada juga ulama yang
mengatakan bahwa walimah adalah wajib dengan melihat zahirnya amr,
yang mana pada dasarnya setiap amr menunjuk pada makna wujub (al-amru
lil wujub)[iii].
Waktu pelaksanaan walimah bisa
dilakukan ketika akad atau setelah akad dengan batas waktu yang tidak tertentu
sesuai dengan adat istiadat di setiap daerah. Sedangkan hukum menghadiri (ijabāh)
walimah adalah wajib. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
مَنْ دَعَي
إِلَى وَلِيْمَةٍ فَلَمْ يَأْتِهَا فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
Barang siapa diundang ke walimah (selamatan) kemudian dia
tidak menghadirinya, maka dia telah maksiat kepada Allah I dan
Rasul-Nya. (HR. Imam Muslim)
Ada banyak hikmah disyari’atkannya
walimah. Di antaranya: Sebagai sarana untuk menampakkan pernikahan pada orang
banyak sehingga tidak terjadi fitnah di antara kedua mempelai, menyambung tali
silaturrahmi antar keluarga maupun dengan yang lain, sebagai wahana untuk
berderma pada para fuqara dan masakin, sebagai wahana untuk mensyukuri segala
nikmat dan karunia-Nya. Selain itu, walimah juga sebagai ajang untuk
menggerakkan hati para pemuda-pemudi—yang sudah dianggap pantas untuk
menikah—agar segara memberlangsungkan akad nikah yang serupa.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
pernikahan merupakan peristiwa bersejarah dalam hidup seseorang. Bagi para
pengantin baru, pernikahan adalah awal kisah untuk merajut cinta kasih dan
membuka gerbang hidup baru guna membentuk generasi penerus. Maka tidak
mengherankan ketika pernikahan disambut dengan penuh kebahagiaan, terutama oleh
kedua mempelai.
Untuk memberikan kesan mendalam di
sepanjang hidup, dirasa perlu menyelenggarakan pesta untuk merayakan
pernikahan. Walaupun demikian adanya, bukan berarti pesta pernikahan
diselenggarakan secara bebas tanpa ada batasan. Sehingga pesta yang seharusnya
membawa berkah malah membawa petaka disebabkan pelaksanaannya yang jauh dari
ajaran Islam.
Oleh karena itu, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh shahibul hajah agar pesta yang
dilaksanakan tidak kehilangan esensinya atau tidak melampaui batas-batas
syari’at. Pertama, pelaksanaan walimah tidak perlu berhari-hari.
“Kalau bisa dilaksanakan secara singkat dan hemat, kenapa harus lama-lama dan
boros”. Dalam sebuah hadits disebutkan:
الْوَلِيمَةُ
أَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ
”Walimah hari pertama adalah benar, hari kedua ma’ruf, dan
hari ketika riya’ dan sum’ah” (HR. Imam Turmudzi)
Hadits nabi ini ingin mengungkapkan
kenyataan di masyarakat bahwa pelaksanaan walimah yang berhari-hari pasti
didasarkan pada riya’ dan sum’ah, sehingga
perlu dihindari. Kekayaan yang berlimpah ruah dan tingginya status sosial di
masyarakat bukanlah alasan untuk melakukan pesta pernikahan secara mewah dan
berhari-hari. Di samping itu, perayaan berhari-hari hanya akan
menimbulkan israf karena makin banyak biaya yang akan
dihabiskan. Padahal para ulama mewanti-wanti agar jangan terlalu berlebihan
karena hanya akan menimbulkan mubāhah (bangga diri) dan isrāf(berlebihan)
yang secara jelas dilarang dalam Islam[iv].
Kedua, Undangan harus merata pada semua
keluarga, tetangga, masyarakat sekitar, teman dan kerabat kerja serta kaya maupun
miskin. Makanya tidak boleh hanya mengundang orang kaya dalam resepsi
pernikahan, sementara orang miskin tidak diundang. Rasulallah r bersabda :
بِئْسَ
الطّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إلَيهِ الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ
الْمَسَاكِينُ
”Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang di sana
orang kaya diundang, dan orang miskin tidak[v]” (HR. Imam Muslim)
Berdasarkan hadits ini, para ulama
menegaskan bahwa seseorang tidak wajib untuk menghadiri walimah, jika yang
diundang hanya orang kaya saja.
Ketiga, walimah tidak boleh dijadikan
sebagai ajang untuk pamer kacantikan, perhiasan, dan keindahan (tabarruj)
di hadapan halayak umum. Allah I berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّة
“Dan janganlah kalian memamerkan diri sebagaimana yang
dilakukan oleh orang perempuan-perempuan jahiliyah” (QS. al-Ahzab [33] :33)
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini
dengan, ”janganlah kalian menampakkan perhiasan dan keindahan kalian kepada
laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana yang dilakukan oleh
perempuan-perempuan pada masa jahiliyah, sebelum Islam datang”[vi]
Dalam ayat yang lain, Allah I berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya kecuali yang
biasa nampak daripadanya” (QS. an-Nur [24] : 31)
Yang dimaksud dengan kalimat “yang
biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan
pertimbangan bahwa keduanya merupakan anggota tubuh yang tidak bisa dihindari
oleh perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain keduanya
tidak boleh untuk ditampakkan. Larangan ayat ini bersifat umum, mencakup
siapapun orangnya, dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun tidak
boleh untuk menampakkan aurat selain wajah dan kedua telapak tangan. Hal
ini sejalan dengan kaidah ushul yang berbunyi :
وَعُمُوْمُ الأَشْخَاصِ يَسْتَلْزِمُ
عُمُوْمَ الأَحْوَالِ وَالأَزْمِنَةِ وَالْبِقَاعِ
“Keumuman beberapa orang berkonsekwensi terhadap keumuman
kondisi, waktu, dan tempat”
Berdasarkan kedua ayat di atas,
memajang pengantin pada saat pesta pernikahan tidak bisa dibenarkan. Sama
halnya dengan mengarak pengantin mengelilingi desa seraya menampakkan aurat dan
kecantikan yang disaksikan jutaan pasang mata.
sumber/referensi
Drs. H. Imron Abu Amar (1983). Terj. Fat-hul
Qarib. Menara Kudus.
Drs. H. Ibnu Mas'ud; Drs. H. Zainal Abidin S, Drs.Maman
Abd. Djaliel (2000). Fiqih Mazhab Syafi'i. CV.Pustaka Setia.
Dib Al-Bugha, Dr. Mustafa (2012). Ringkasan Fiqih
Mazhab Syafi'i. Noura Books.
Hallo, aku mau sharing tentang pernikahan aku di gedung HIS GRAHA ELNUSA di TB Simatupang yang sudah full karpet harganya jauh lebih murah looh untuk gedung di daerah Jak-Sel, parkirannya juga luaaaass bangett, udah gitu gak perlu ribet cari2 vendor lg karena disitu sistemnya udah ALL IN PACKAGE dan sudah ada WEDDING PLANNERnya lho..
BalasHapusKemarin acara aku di arrange sama Wedding Public Relation & Wedding Planner yang kooperatif bgt.. Alhamdulillah acara berjalan lancar dengan budget aku yg tidak terlalu mahal dan masuk akal..
Silahkan langsung kontak Wedding PR yang handle aku 085887972972 mba INES namanya dia udh berpengalaman dalam hal wedding biasanya juga dia suka kasih bonus banyaakk.. hihihi