Uang dan harta adalah
topik menggiurkan. Hampir segala hal memerlukan uang. Mungkin inilah suatu
zaman dimana posisi uang adalah segalanya. Ada benarnya juga jika suatu
kebahagiaan itu bisa dibeli dengan uang. Namun, tidak seutuhnya bisa terbeli
dengan uang, karena masih ada titik-titik tertentu yang tidak bisa dijangkau
kebahagiaannya dengan uang. Walaupun itu tak bisa terjangkau, akan tetapi
dengan keberadaan uang setidaknya bisa sedikit membantu untuk menjangkau
kebahagiaan itu. Walau pada dasarnya memang itu tidak bisa terjangkau
seutuhnya. Semua orang pada dasarnya mencari uang untuk bisa hidup, karena
posisi uang telah berubah menjadi alat barter untuk semua hal.
Untuk melaksanakan
kegiatan ekonomi yang meliputi konsumsi, distribusi, dan produksi diperlukan
suatu benda atau alat yang berfungsi untuk mengukur, menukarkan, dan sekaligus
melakukan pembayaran dalam pembelian barang dan jasa. Uang digunakan oleh
konsumen untuk membeli barang dan jasa yang diperlukan. Dalam distribusi uang
diperlukan untuk membeli barang guna dijual kembali. Bagi produsen, uang
diperlukan untuk membeli bahan-bahan baku yang kemudian diolah menjadi barang
siap pakai yang dijual kepada masyarakat.
Uang bukan hanya
memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tertier, sosial dan rohani, tetapi uang
bisa juga mengangkat ego. Dengan memiliki uang, harga diri bisa terangkat, rasa
percaya diri bertambah, berani mengeluarkan pendapat, berbicara di muka umum,
dan berani mengambil tugas-tugas
sosial.
Ironisnya, karena uang
juga orang berperilaku 'aneh'. Etika-etika yang baik ditinggalkan. Ada yang mau
disuruh melakukan apa saja- tidak perduli apakah itu benar atau salah. Karena
uang, ada yang mau menjadi penjilat, pura-pura bersikap sopan, tidak berani
mengemukakan kritik, 'menjual diri', melakukan hubungan seks dengan siapa saja,
melakukan kejahatan bahkan sampai membunuh
orang lain. Oleh karena uang berperan penting dalam kehidupan
Namun, uang bukanlah barang yang
netral. Ia punya efek mengubah hal-hal yang ia sentuh. Efek mengubah ini tidak
selalu baik, namun justru bisa merusak nilai dari hal tersebut. Uang juga bisa
menciptakan rasa iri yang lahir dari ketidakadilan, ketika orang yang memiliki
uang banyak mendapatkan kesempatan lebih banyak, daripada orang yang lebih
sedikit uangnya.
Pengaruh Uang
Salah satu yang
membuat hidup kita bahagia adalah persahabatan. Seorang sahabat hadir, ketika
kita membutuhkan bantuan. Ia juga hadir, ketika kita senang, atau sedang ingin
merayakan sesuatu. Apa yang terjadi, ketika kita membayar seseorang, supaya ia
mau menjadi sahabat kita?
Seks adalah ekspresi dari cinta.
Orang melakukannya, karena mereka saling mencintai. Mereka ingin saling
membahagiakan. Apa yang terjadi, jika kita membayar orang, supaya ia mau
berhubungan seks dengan kita?
Michael Sandel, di dalam bukunya yang
terbaru, What Money Can’t Buy
(2013), juga menjelaskan, bahwa uang juga mempengaruhi kinerja orang di
dalam pekerjaannya. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang mekanis, seperti
administrator atau tukang sapu, uang memang bisa memberikan motivasi tambahan,
supaya orang bekerja lebih rajin. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan tingkat kreativitas tinggi, uang tidak memberikan dampak apapun,
atau justru melunturkan motivasi.
Inilah yang saya sebut sebagai
paradoks insentif. Dunia bisnis amat gembira, ketika mereka menemukan mekanisme
sederhana, bahwa orang bisa bekerja lebih rajin, karena diberikan uang lebih.
Uang lebih inilah yang disebut sebagai insentif. Namun, cara ini tidaklah
universal, melainkan hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu.
Pendidikan
Di beberapa sekolah
internasional di Jakarta, anak dibayar dengan jumlah uang tertentu, supaya ia
lebih rajin membaca buku. Orang tua dan sekolah setuju dengan cara ini demi
satu tujuan, yakni meningkatkan minat baca anak. Harapan mereka, dengan cara
ini, anak akhirnya suka membaca buku, lalu ia akan terus membaca buku, walaupun
tidak lagi diberikan uang. Namun, seperti saya jelaskan sebelumnya, uang
mengubah nilai benda-benda yang disentuhnya, termasuk juga nilai membaca buku.
Ketika anak membaca
buku, karena ia dibayar oleh orang tua atau sekolahnya, maka ia akan belajar
tentang nilai yang salah. Ia tidak akan bisa menemukan nilai kenikmatan membaca
buku, karena nilai itu dilunturkan oleh nilai lainnya, yakni mendapatkan uang.
Uang membuat orang belajar tentang hal yang salah. Ia mengaburkan nilai
berharga yang hendak diajarkan, dan akhirnya justru memelintirnya menjadi
sesuatu yang amat purba, yakni mendapatkan uang untuk memperoleh kenikmatan
lebih tinggi.
Ketidakadilan dan Korupsi
Sandel juga
menjelaskan, bahwa kehadiran uang juga bisa menciptakan ketidakadilan.
Orang-orang yang memiliki uang akan membayar lebih tinggi, sehingga mereka
mendapatkan fasilitas lebih banyak. Sementara, orang-orang yang memiliki uang
lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak
sama sekali. Jika pola ini berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, politik,
ekonomi), dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan tercipta kesenjangan
sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di masyarakat.
Uang juga memiliki
efek korup. Dalam arti ini, korupsi berarti penurunan nilai dari apa yang kita
kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita sebagai
sesuatu bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita, nilai
tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur dengan
uang. Dalam arti ini, nilai membantu telah dikorup menjadi semata nilai
ekonomi, karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan membantu telah luntur,
karena telah disentuh dengan uang.
Uang juga melahirkan
godaan yang besar untuk korupi, dalam arti menggunakan uang bersama untuk
kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia adalah contoh paling
jelas, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya semata
menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan korupsi.
Ketika sistem politik dan hukum di posisi puncak telah korup, maka semua segi
kehidupan masyarakat lainnya juga akan korup. Ikan membusuk dari kepalanya,
lalu seluruh badannya pun akan membusuk.
Uang sebagai Ideologi
Kecenderungan untuk
mengukurkan segalanya dari nilai ekonomi disebut juga sebagai die panökonomische Ideologie.
Peter Leuprecht di dalam tulisannya yang berjudul Überlegungen zum internationalen
Schutz der Menschenrechte (2013)menjelaskan, bahwa cara berpikir ini telah
merusak nilai-nilai luhur manusia, yang tercermin di dalam rumusan hak-hak
asasi manusia. Ia adalah musuh utama penegakkan hak-hak asasi manusia, baik di
tingkal nasional maupun global. Ia mengancam kedamaian hidup bersama, karena
setiap orang tergoda untuk menjadi rakus akan uang.
Contoh paling jelas
dari panökonomische Ideologie adalah pola politik di Amerika
Serikat sekarang ini. Pemerintah dan rakyatnya nyaris tak berdaya menghadapi
kekuatan politik perusahaan-perusahaan besar di sana. Motif utama mereka cuma
satu, yakni mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tanpa peduli nilai-nilai
lainnya. Padahal, nilai-nilai tersebut, seperti solidaritas, pengorbanan dan
kesetaraan sosial, adalah nilai-nilai yang mengikat AS sebagai satu bangsa.
Ketika nilai-nilai
itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka masyarakat pun
akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena setiap orang
menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi, kalau perlu
dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama. “Yang Sosial” (das Soziale)
yang menjadi dasar dari kebersamaan juga lenyap, dan digantikan oleh egoisme
ekstrem. Maka, peran uang harus terus dibatasi dengan peraturan, hukum dan
moralitas, supaya ia menjadi alat untuk kebaikan bersama, dan bukan tujuan
utama.
Uang dan Krisis Tujuan Hidup
Di dalam artikelnya
yang berjudul Philosophie des
Geldes: Wir haben die Vernunft verloren (2010), Gerhard Hofweber berusaha
menjelaskan, bahwa hidup bersama kita telah kehilangan akal sehatnya, sehingga
mendewakan uang di atas segalanya. Pandangan bahwa uang adalah nilai tertinggi
adalah kesalahan terbesar peradaban modern. Manusia modern menjadi buta, karena
ia tidak bisa membedakan, mana yang merupakan alat, dan mana yang merupakan
tujuan.
Hofweber
menjelaskan, bahwa pandangan Aristoteles yang berusia lebih dari 2000 tahun
yang lalu tentang uang masih bisa menjelaskan situasi kita sekarang ini.
Baginya, uang adalah alat bagi satu tujuan tertentu. Artinya, apa yang orang
beli dengan uang haruslah memiliki nilai yang lebih tinggi, daripada uang itu
sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya orang tidak membeli barang tersebut.
Ketika kita membeli
barang, maka barang itu haruslah memberikan setitik kebahagiaan (Glück)
pada kita. Kebahagiaan yang kita terima tersebut haruslah juga lebih tinggi,
daripada uang yang kita keluarkan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah
tujuan tertinggi hidup manusia. Dalam arti ini, kebahagiaan berarti kepenuhan
hidup, dan bukan semata kenikmatan sesaat.
“Apa yang kita
lakukan”, demikian tulis Hofweber, kita lakukan pada akhirnya untuk menjadi
bahagia.” Maka, uang pun juga harus ditempatkan dalam cara berpikir ini. Uang
adalah alat untuk menjadi bahagia, yakni menjadi penuh dalam hidup ini. Namun,
untuk mencapai kepenuhan hidup, orang butuh lebih dari sekedar uang. Yang lebih
dibutuhkan adalah hidup yang berkeutamaan, yakni hidup yang berpijak pada
nilai-nilai luhur dan masuk akal. Uang hanyalah alat semata, guna mencapai
tujuan ini.
Sekarang ini, banyak
orang lupa pada tujuan hidupnya. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup tidak lagi
menjadi tujuan. Ketika ini terjadi, maka orang bingung akan perbedaan antara
alat dan tujuan. Alat berubah menjadi tujuan. Uang berubah menjadi tujuan, dan
akhirnya mengacaukan seluruh tatanan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup
bersama.
Ketika uang menjadi
tujuan, ia lalu dilihat sebagai kebutuhan utama. Yang menyeramkan adalah,
kebutuhan akan uang tidak akan pernah cukup. Berapapun pendapatan seseorang, ia
tetap akan merasa tidak cukup, karena hidupnya kehilangan tujuan yang sejati,
yakni kepenuhan hidup itu sendiri. “Ketika hidup yang baik dan pemikiran yang
masuk akal tidak lagi menjadi ukuran”, demikian Hofweber, “maka kebutuhan akan
uang akan menjadi tidak terbatas, dan kerakusan adalah dampak logisnya.”
Krisis tujuan hidup
dan krisis akal sehat, itulah yang menandai jaman kita sekarang. Dampaknya
beragam, mulai dari kecanduan narkoba, sampai dengan kecanduan olah raga
ekstrem, guna mengisi kekosongan tujuan hidup tersebut. Perilaku-perilaku aneh
mulai bermunculan, mulai dari pesta seks tanpa batas, permainan saham yang amat
beresiko, sampai dengan perselingkuhan massal. Semua hal yang membawa
kenikmatan sesaat dicoba, guna mengisi kekosongan tujuan hidup dan krisis akal
sehat tersebut.
Ironisnya, semua itu
tidak akan pernah berhasil membawa kebahagiaan dan kepenuhan hidup. “Apapun
usaha kita, selama kita masih berpikir dengan cara lama, selama kita masih
mengisi harapan-harapan yang lama,” demikian kata Hofweber, “maka kita tidak
akan pernah merasa penuh.” Ia menyebut semua usaha mengisi kekosongan hidup ini
sebagai die Perspektive der
Maximierung, atau cara pandangan maksimalisasi, yang hendak mengusahakan
segala cara, guna mengisi kekosongan hidup, tetapi tidak akan pernah berhasil.
Kegagalan ini terjadi, karena kita bingung akan perbedaan antara alat (Mittel)
dan tujuan (Zweck) di dalam hidup kita.
Uang dan Tuhan
Michael Bienert
menulis artikel dengan judul Philosophie
ein Gott namens Geld (2008). Ia melihat, bahwa uang di dalam masyarakat
modern telah menjadi sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan
manusia yang mengontrol uang, melainkan uang yang mengontrol manusia. Uang
sudah seperti Tuhan itu sendiri; mampu mendikte tindakan-tindakan manusia.
“Semakin sempurna
uang dirasa sebagai alat tukar”, demikian tulis Bienert, “semakin ia abstrak
dan tanpa materi, dan semakin ia menjadi universal, maka ia akan semakin mirip
dengan Tuhan.” Uang kini tidak lagi berbentuk fisik, baik kertas atau logam. Ia
menjadi sekedar nomor kartu kredit atau kartu debet. Ia menjadi semakin
abstrak, jauh dari jangkauan tangan fisik manusia.
Namun, pengaruhnya
justru semakin besar. Orang bisa menggunakannya, walau tak mempunyainya,
misalnya seperti kredit. Ia punya kekuatan besar, bahkan bisa mengubah salah
menjadi benar, misalnya dengan menyewa pengacara bertarif tinggi untuk
menyelamatkan koruptor dari hukuman penjara. Tak berlebihan jika dikatakan,
bahwa uang telah menjadi Tuhan yang mengatur hidup manusia, walaupun uang
adalah ciptaan manusia itu sendiri.
Banyak orang
percaya, bahwa manusia itu bebas. Namun, mereka lupa, bahwa kebebasan pun ada
harganya. Untuk memiliki dan menikmati kebebasan, orang perlu uang. Untuk
menikmati perjalanan liburan yang menyegarkan, orang perlu membeli tiket
pesawat. Untuk bisa menikmati buku yang bagus, orang perlu uang untuk membeli
buku itu. Tak berlebihan juga jika dikatakan, uang adalah prasyarat untuk
kebebasan.
Uang dan Hubungan antar Manusia
Yang juga
diperhatikan oleh Bienert, dengan menggunakan kerangka teori dari Georg Simmel
di dalam bukunya yang berjudul Philosophie
des Geldes, adalah bagaimana uang justru menghancurkan kultur dan
nilai-nilai sosial yang ada. Di kota-kota besar Jerman awal abad 20, seperti
Berlin, sebagaimana dinyatakan oleh Simmel, uang menjadi begitu penting. Ia
berperan tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai penentu hubungan
antar manusia.
Logisnya, dengan adanya uang, maka
hidup akan semakin makmur, dan manusia justru akan menjadi bahagia. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya. Uang justru mengkorupsi hubungan antara manusia.
Ketika cinta dan persahabatan bercampur baur dengan uang, maka nilai keduanya
akan terkorupsi, dan menjadi rendah nilainya. Uang memungkinkan sekaligus
menghancurkan kultur dan hubungan antar manusia itu sendiri.
Melampaui Uang
Belajar dari
pemaparan Sandel, Leuprecht, Bienert dan Simmel, kita jadi sadar, bagaimana
uang tidak pernah netral di dalam hidup manusia. Uang membawa pengaruh yang
besar bagi setiap hal yang disentuhnya. Ia berfungsi sebagai pemberi motivasi
(insentif), atau justru mengkorupsi nilai-nilai luhur yang ada, sehingga
menjadi rendah. Ia memicu kinerja, sekaligus menghancurkan cinta, persahabatan
serta solidaritas sosial yang mengikat kehidupan bersama manusia.
Belajar dari
Hofweber, kita perlu untuk menempatkan uang ke tempat asalnya, yakni sebagai
alat dari tujuan hidup manusia yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan
kepenuhan hidup. Untuk itu, kita perlu menggunakan pikiran kita tidak hanya
untuk mencari dan mengumpulkan uang, tetapi untuk bertanya ulang, apa yang
membuat hidup kita sebagai manusia itu penuh, dan apa tujuan sebenarnya dari
semua yang kita lakukan. Untuk itu, kita perlu melampaui cara berpikir teknis.
Atau apa yang Heidegger tawarkan dalam buku kecilnya Was heißt Denken sebagai berpikir dalam artinya yang
paling sejati.
Dalam konteks
politik, uang perlu diatur sedemikian rupa, sehingga ia tidak mengaburkan
nilai-nilai sosial yang ada. Sistem keuangan, baik dalam bentuk investasi saham
ataupun bentuk-bentuk derivasinya, perlu untuk diatur sedemikian ketat,
sehingga ia tidak merusak stabilitas politik yang ada. Pasar bebas, yang
membiarkan uang bergerak tanpa aturan, dan akhirnya merasuk ke dalam berbagai
sendi kehidupan manusia, adalah ilusi yang hanya akan membawa pada kehancuran
dan krisis berkepanjangan. Ini semua perlu dilakukan, supaya kita tidak salah
kaprah, karena melihat uang sebagai Tuhan.
SUMBER/REFERENSI:
Bienert, Michael, Philosophie ein Gott namens Geld, kolom Tagesspiel, 2008.
Heidegger, Martin, Was heißt Denken, Vittorio
Klostermann, Frankfurt am Main, 1954.
Hofweber, Gerhard, Philosophie des Geldes: Wir haben
die Vernunft verloren, kolom Manager-Magazin.de, 18 April 2010.
Leuprecht, Peter, Überlegungen zum internationalen
Schutz der Menschenrechte, dalam
buku Weltprobleme, Müller,
Johannes et.al(eds), Bayerische
politische Bildung, 2013.
Sandel, Michael, What Money Can’t Buy, The Moral
Limits of Markets,Penguin, New York, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar