Pernah
melihat tradisi ini? Tahlilan dari mana asal muasal tradisi ini? Mari kita
bahas kawan...
Telah
kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial
yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari
kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan
disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian
materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali
bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah
"Tahlilan".
Acara ini biasanya
diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum
penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh.
Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya
acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun
terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam
acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara
diselenggarakan.
Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang
berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih dari
sekedarnya" cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga
acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa
abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi
suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara
tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari
masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan
hukum yaitu sunnah (baca: "wajib") untuk dikerjakan dan sebaliknya,
bidah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca,
pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka
tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih
dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini
keabsahannya yaitu Al Quran dan As Sunnah.
Sebenarnya acara
tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam.
Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra
harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah
yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman
kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala
telah berfirman (artinya):
"Maka jika kalian
berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya." (An Nisaa: 59)
Para pembaca, kalau
kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di
masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para
Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para
Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad,
dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana
sejarah munculnya acara tahlilan
Awal mula acara
tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa
Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai
bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang
diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan
secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan
dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis
ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi
(pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Acara tahlilan –paling
tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan
beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan doa-doa
tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian
hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu
ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan
bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak
yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih)
melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan)
dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat
atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa
dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan
niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir,
dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah
subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir
dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan
doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah
tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan agama
Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan
oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman
(artinya):
"Pada hari ini
telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan
nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al
Maidah: 3) Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ
مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak ada suatu
perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An
Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya." (H.R Ath
Thabrani)
Ayat dan hadits di
atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna,
tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan
maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu
alaihi wasallam.
Suatu ketika
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga
orang, yang pertama menyatakan: "Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan
tidur malam", yang kedua menyatakan: "Saya akan bershaum (puasa) dan
tidak akan berbuka", yang terakhir menyatakan: "Saya tidak akan menikah",
maka Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata:
"Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum
dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi
wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku."
(Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah
menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wataala kecuali
bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam. Allah subhanahu wataala menyatakan dalam
Al Quran (artinya):
"Dialah Allah
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang
paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir
menjelaskan makna "yang paling baik amalnya" ialah yang paling
ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun
yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya
merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah
shalAllahu alaihi wasallam.
Atas dasar ini,
beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang
didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalAllahu alaihi
wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu
wataala (artinya): "Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya". (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi
dalam hadits Aisyah radhiAllahu anha, Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa
yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak."
(Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula
lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ
البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
"Hukum asal dari
suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang
memerintahkannya."
Maka beribadah dengan
dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu
perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya
menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan
bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik
lagi pernyataan dari Al Imam Asy SyafiI:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barang siapa
yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara (syariat)
sendiri".
Kalau kita mau
mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum bacaan Al Quran
yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa
pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil
dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya):
"Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah
diusahakannya". (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
1.
Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas
pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan
dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan
tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan
tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bahkan
perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiAllahu anhum. Jarir
bin Abdillah radhiAllahu anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalAllahu
alaihi wasallam– berkata: "Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit
merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)." (H.R Ahmad, Ibnu Majah
dan lainnya)
Sehingga acara
berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit
termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat
Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana
fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini.
Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum
muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii
rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um
(1/248): "Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit
–pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah
kesedihan dan memberatkan urusan mereka." (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy
Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi
seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah menyebutkan perkataan Asy
Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata:
"Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh
murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan
lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut
merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidah –pent).
Lalu apakah pantas
acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii?
Malah yang semestinya,
disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk
keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana
bimbingan Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ
طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
"Hidangkanlah
makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang
menyibukkan mereka." (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mengadakan pertemuan
atau perkumpulan untuk membaca Al-Qur’an, shalawat, istigfar, tahlil dan dzikir
lainnya, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia,
hukumnya adalah boleh (jaiz).
Sebagaimana
disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Ali Muhammad Al-Syaukani :Kebiasaan di
sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas
kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang
telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di
dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada
penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu
pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di
dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca
Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklan tercela menghadiahkan pahala membaca
Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada
beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadist shahih seperti ; Bacalah
surat Yasin kepada orang mati di antara kamu. Tidak ada bedanya apakah pembacan
surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas
kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik
dilakukan di masjid atau di rumah. (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan :
Selanjutnya Al-Syaukani menyampaikan :
Para sahabat juga
mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan
syair-syair, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal
di tengah-tengah mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan
perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah
bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang
dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil),
tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru). (Al-Rasa’il Al-Salafiyah,
hal. 46)
Imam Al-Syafi’i ra,
berkata : Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan
hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada
Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya
yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang
telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai.
Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah
juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit.(Diriwayatkan dari
Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)
Syah Waliyullah
Al-Dahlawi mengatakan : Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati)
adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan
paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab
suci Al-Qur’an. Diantara do’a Nabi saw. yang terkenal bagi mayat adalah (do’a
yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah
mati di antara kami,… (Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)
Ketika membaca surat
Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan, sebagaimana fatwa Sayyid
Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih : bahwa yang lebih utama bagi orang
yang membaca surat Al-Fatihah bagi seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi
fulan bin fulan (kepada ruh fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku.
(Hal itu lebih utama diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu
hancur. (Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).
Tujuh hari dalam
tahlilan. Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang
dicontohkan sahabat Nabi saw. Imam Ahmad bin Hanbal ra. dalam kitab Al-Zuhd,
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi :
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).
Kebiasaan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga
sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah.
Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi
saw. sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak
generasi pertama (masa sahabat Nabi saw.). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz
II, hal. 194).
Dzikir Fida’ atau
Syarwa Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist :
Rasulullah saw. bersabda ; Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71
ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain. Hadist ini diriwayatkan
oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188). Alhasil membaca
dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’
(tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’
tersebut.
Syarwa Kubro. Syarwa kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw :
Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Syarwa Kubro. Syarwa kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Nabi saw :
Rasulullah saw. bersabda, barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)
Sumber : Tahlil Dalam
Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab Kuning), oleh : KH. Muhyiddin
Abdusshomad. dan Dokumen Penting Tentang Masalah Agama Islam, oleh : KH.
Manshur Shaleh.
Itulah
pembahasan mengenai tahlilan, adapun tentunya pembeca memiliki prespektif yang
berbeda-beda tentu itu menjadi hak masing –masing pembaca. Wallahu’alam
Bisshowab.
assalamu alaikum warahmatullah wabarokatuh
BalasHapusafwan
perihal sahabat yang melakukan tahlilan setelah kematian,
mohon Di lengkapi biografinya dan sanadnya apakah langsung dari rosulullah sholallahu alaihi wa sallam yang pernah di kerjakan lalu khawatir wajib jadi rosulullah sholallahu alaihi wa sallam sholat di rumah dan tidak keluar rumah beberapa hari,apakah ! tahlilan setelah kematian itu demikian ???
mengingat tak pernah ada kanjeng rosulullah sholallahu alaihi wa sallam melakukan atau membiarkan sahabat melakukannya dll
semoga jadi bahan pertimbangan bagi para thulabul ilmi dan para dai ustadz dan alim ulama
barokallahufiikum wa ghofarallahulahu
#SyababFaqirIlmuHausIlmu